Saat ini rumah subsidi tengah menjamur di kalangan masyarakat. Ini sesuai dengan visi menyediakan sejuta rumah yang didengungkan oleh Pemerintah Pusat. Rumah subsidi juga menjadi pilihan bagi mereka yang memiliki pemasukan terbatas, namun ingin mempunyai rumah sendiri.
Pengalaman yang akan saya ceritakan ini adalah pengalaman seorang teman. Sebutlah namanya Budi. Ia telah terbuai dengan bujuk rayu marketing properti hingga akhirnya tertipu. Uang yang sudah disetorkan tidak kurang dari 30 juta rupiah. Sampai saat ini sepeserpun belum kembali. Padahal sudah 4 tahun proses ini berjalan.
Peristiwa ini bermula dari sebuah iklan rumah subsidi yang berlokasi di sebuah daerah di Tangerang. Lokasi tersebut terbilang sangat strategis untuk ukuran rumah subsidi karena lokasinya dekat dengan perumahan yang sudah cukup berkembang. Logikanya di tempat tersebut seharusnya tidak mungkin ada rumah subsidi.Â
Tergiur dengan lokasi, akhirnya ratusan bahkan mungkin ribuan calon pembeli berdatangan ke agen properti yang memasarkan rumah tersebut. Kondisinya masih tanah kosong. Diurug pun belum, masih berupa sawah.Â
Okelah itu wajar saja memang dalam proses pembelian rumah. Pengembang menjanjikan 18 bulan setelah DP, rumah tersebut sudah jadi. Calon pembeli wajib membayarkan DP yang bila ditotal sekitar 35juta. Biaya itu terdiri dari uang muka rumah itu sendiri, biaya pemasangan listrik, biaya peningkatan mutu, BPHTB, SHM, dan lain sebagainya. Biaya 35juta dicicil selama 6 bulan.Â
Bulan berganti bulan hingga tahun berganti tahun tidak ada tanda-tanda rumah akan dibangun. Sudah beberapa kali menanyakan ke agen properti hanya diberikan janji-janji manis bahwa rumah pasti terbangun.Â
Lama-lama terdengar selentingan dari warga sekitar bahwa tanah yang menjadi lokasi itu masih atas nama orang lain, bukan milik pengembang. Kabar ini membuat calon pembeli semakin resah. Menyusul kemudian ada kabar lagi bahwa pemilik dari pengembang perumahan tersebut adalah caleg yang sedang mencalonkan diri di Pemilu 2019 yang lalu.Â
Akhirnya Budi memutuskan untuk membatalkan pembelian rumah tersebut. Itu dilakukan setelah 1,5 tahun lamanya menunggu. Dalam perjanjian, bila pembelian dibatalkan sepihak oleh konsumen, maka uang yang masuk akan dikembalikan tetapi dipotong 25 persen.Â
Namun malang untuk Budi, karena ia dan ratusan calon pembeli yang lain sampai saat ini sudah 4 tahun uang sepeserpun belum kembali. Kabarnya caleg pemilik usaha developer tersebut gagal menjadi anggota legislatif. Maka sudah pasti uangnya habis dipakai untuk kampanye. Dan rumah pun hingga sekarang tidak pernah terbangun.
Lain lagi dengan pengalaman teman saya yang lain. Sebut saja Darto. Oleh atasannya ia direkomendasikan sebuah rumah subsidi melalui sebuah brosur. Beda dengan Budi, DP rumah ini tergolong murah. Hanya sekitar 10 juta biaya sampai serahterima kunci. Biaya tersebut dicicil 5 kali.Â