Mohon tunggu...
Alfian Wahyu Nugroho
Alfian Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis Artikel

Selamat membaca beragam tulisan yang menganalisis berbagai fenomena dengan teori-teori sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membahas E-Sport dari Sudut Pandang Sosiologi

9 Juni 2025   11:13 Diperbarui: 9 Juni 2025   11:13 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
E-Sport (Sumber: https://www.vecteezy.com/vector-art/7681089-esports-logo-template-with-trophy-for-gaming-team-or-tournament)

Implementasi dan Isu Sosial terkait E-Sport

Perkembangan pesat industri e-sport telah mengubah paradigma karier di kalangan generasi muda Indonesia. Jika sebelumnya profesi seperti dokter, insinyur, atau pegawai negeri sipil menjadi cita-cita utama, kini banyak anak-anak yang bercita-cita menjadi pro player atau streamer. Fenomena ini mencerminkan transformasi dan juga implementasi budaya yang signifikan bagi masyarakat khususnya generasi muda, di mana e-sport tidak lagi dipandang sekadar sebagai hobi, melainkan sebagai profesi yang menjanjikan. Kesuksesan tim-tim besar seperti ONIC, RRQ, dan EVOS turut mendorong perubahan ini, menjadikan para pro player sebagai idola baru dan ikon gaya hidup bagi generasi muda. E-sport tidak hanya merepresentasikan perubahan dalam pilihan karier, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial yang lebih luas terkait dengan nilai-nilai budaya, struktur sosial, dan adaptasi individu terhadap perubahan tersebut. 

Meskipun begitu, jika kita membahas secara netral, tentu akan muncul isu isu negatif dari e-sport dalam dinamika sosial di masyarakat. Toksisitas dalam permainan e-sport telah menjadi isu serius yang memengaruhi pengalaman bermain dan kesehatan mental para pemain. Perilaku toksik ini mencakup berbagai bentuk, seperti pelecehan verbal, komentar ofensif, ancaman, hingga sabotase strategi tim. Fenomena ini sering kali berdampak buruk, baik bagi pemain pemula maupun veteran, karena mengurangi kenyamanan bermain. Salah satu faktor yang memicu perilaku toksik adalah efek disinhibisi online, di mana anonimitas dan kurangnya akuntabilitas dalam lingkungan daring mendorong individu untuk bertindak agresif tanpa rasa tanggung jawab moral. Selain itu, tekanan kompetitif yang tinggi dalam e-sport juga dapat memicu konflik antar pemain, terutama ketika komunikasi tidak berjalan efektif. Dampak dari perilaku toksik ini tidak hanya dirasakan oleh individu yang menjadi korban, tetapi juga oleh komunitas game secara keseluruhan. Jika dibiarkan, toksisitas dapat menjadi norma yang merusak budaya permainan dan menghambat pertumbuhan komunitas yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama dari individu, komunitas, dan pengembang game untuk mengatasi masalah ini, seperti dengan mempromosikan perilaku positif, menetapkan kode etik, dan menyediakan alat moderasi yang efektif.

Selain toksik, tentu tekanan bagi player dari struktur permainan di e-sport juga memunculkan isu isu kesehatan. Profesional esport menghadapi tekanan mental setara atlet olahraga fisik, argumen inilah yang bisa menjawab pendapat Mentri kita yang mengatakan bahwa E-Sport bukan olahraga fisik. Ada beban mental dan fisik juga, seperti latihan intensif 6--8 jam per hari, turnamen kompetitif, dan tuntutan performa tinggi menciptakan stres berlebihan. Studi mengatakan bahwa kurangnya waktu istirahat dan manajemen jadwal cenderung menyebabkan kelelahan fisik, emosional, dan mental burnout serta rentan terhadap cedera, gangguan tidur, kecemasan, dan depresi. Sebuah penelitian scoping review juga menemukan tingginya prevalensi gejala cemas, stres, dan gangguan tidur pada atlet digital, yang secara signifikan dipengaruhi oleh tekanan kompetitif dan kurangnya dukungan psikologis. Sementara itu, wawancara dengan pelatih ketahanan mental dalam ONE Esports Indonesia menunjukkan bahwa strategi coping seperti time-off, dukungan sosial, dan manajemen tidur adalah esensial untuk mencegah burnout dan meningkatkan performa jangka panjang. Tanpa intervensi semacam itu, pembinaan pro player riskan runtuh karena beban mental yang tak tertangani.

Esport telah berkembang jauh melebihi sekadar permainan, menjadi medan sosial yang multi-dimensi, mencerminkan struktur, nilai, dan tantangan masyarakat digital masa kini. Melalui lensa sosiologi, fenomena ini membuka pemahaman bahwa esport bukan sekadar pertandingan virtual, melainkan ruang produksi makna sosial, serta arena simbolik dan peneguhan nilai-nilai kolektif. Sebagai penutup, esport bukan hanya permainan, melainkan arena sosial yang bervariasi yang bahkan mampu memperkaya komunitas dan ekonomi digital, selama kita mampu mengelolanya secara bijak dengan dukungan kesiapan regulasi, edukasi, dan kolaborasi lintas sektor, esport dapat menjadi motor perubahan sosial yang inklusif, etis, dan progresif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun