Sebagai penutup, para kritikus dan ilmuwan sosial tentu mengharapkan kondisi ideal khususnya dalam diri kita sendiri. Setiap individu harus melakukan refleksi eksistensial yang mendalam, melihat ulang rutinitas sehari-hari bukan sebagai kewajaran, melainkan sebagai konstruksi sistemik yang menjauhkan dari makna hidup autentik. Tindakan kritis menjadi langkah pertama untuk mengembalikan otonomi diri. Melepaskan diri dari kebiasaan berpikir satu dimensi dan membuka ruang batin untuk mengalami hidup secara utuh menjadi bentuk pembebasan. Kebebasan sejati tidak terletak pada banyaknya pilihan dalam sistem yang telah disediakan, tetapi pada keberanian untuk membayangkan dan mewujudkan dunia di luar sistem tersebut. Manusia yang sadar akan posisinya dalam sistem memiliki peluang untuk hidup, bukan sekadar bertahan.
Namun, menurut saya, menjadi idealis dalam menghadapi sistem ini berarti siap mengorbankan sesuatu baik itu kenyamanan, keamanan finansial, maupun stabilitas hidup. Sikap kritis yang sesungguhnya adalah bentuk perlawanan terhadap sistem, dan perlawanan itu tidak datang tanpa konsekuensi. Dalam realitas sosial dan ekonomi yang ada, tidak semua orang memiliki modal sumber daya baik finansial, sosial, maupun psikologis untuk menanggung beban tersebut. Jika pemahaman kritis belum matang dan persiapan belum cukup, berontak tanpa strategi bisa berujung pada kehancuran pribadi. Sebaliknya, hidup realistis berarti menerima bahwa sebagian besar dari kita harus terus "bermain sesuai aturan" sistem yang ada demi memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, tempat tinggal, dan penghidupan. Dilema ini menuntut keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme, antara keinginan untuk berubah dan kebutuhan untuk bertahan. Tanpa pemahaman dan persiapan yang matang, idealisme bisa menjadi jebakan yang melemahkan, sementara realisme yang tidak dikritisi justru memperkuat penjara yang dipoles ini. Oleh karena itu, refleksi kritis tidak hanya tentang menolak sistem, tetapi juga tentang bagaimana kita memposisikan diri secara bijak dalam sistem tersebut memperjuangkan perubahan sambil menjaga keberlangsungan hidup. Kritis tapi realistis, idealis tapi adaptif, adalah jalan yang harus ditempuh jika kita ingin benar-benar memilih hidup, bukan hanya bertahan dalam penjara postmodern yang halus ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI