Mohon tunggu...
Alfian Wahyu Nugroho
Alfian Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis Artikel

Selamat membaca beragam tulisan yang menganalisis berbagai fenomena dengan teori-teori sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Sinis melalui Mazhab Frankfurt

17 Mei 2025   13:51 Diperbarui: 20 Mei 2025   18:50 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horkheimer & Adorno (Sumber: https://jacobin.com/2020/02/max-horkheimer-frankfurt-school-adorno-working-class-marxism)

Dalam konteks ini, TikTok tidak jauh berbeda dari pabrik. Tapi yang diproduksi bukan barang, melainkan self as commodity, diri sebagai komoditas. Konsep fetisisme komoditas dari Marx dan kritik satu dimensi dari Herbert Marcuse sangat relevan di sini. Para kreator konten secara sadar membentuk citra diri agar sesuai dengan keinginan pasar menarik, lucu, relatable, dan ‘sopan’ secara algoritmik. Mereka mengejar bentuk pengakuan yang bersifat kuantitatif seperti likes, views, comments. Eksistensi kultural berubah menjadi transaksi simbolik, yang dikendalikan oleh logika teknokapitalisme yang saya cantumkan sebelumnya. Dalam masyarakat satu dimensi ini, resistensi terhadap sistem sering kali dikemas sebagai bagian dari sistem itu sendiri seperti kritik sosial yang diviralkan justru oleh sistem yang dikritik. Tidak sedikit pula yang menggunakan TikTok untuk menyebarkan edukasi dan pemikiran progresif mulai dari feminisme, psikoanalisis populer, sampai teori sosial. Namun dalam kerangka Mazhab Frankfurt, ini disebut sebagai bentuk pencerahan semu (dialektika pencerahan). Ketika pengetahuan dibatasi durasinya oleh format 60 detik, ketika diskusi kompleks direduksi menjadi ‘fun fact’ dan potongan motivasi, maka pengetahuan itu sendiri telah kehilangan potensi emansipatorisnya. Ia menjadi konsumsi ringan yang tidak mengubah kesadaran, hanya memuaskan rasa tahu sesaat. Konten edukatif yang viral seringkali lebih banyak menampilkan estetika kritis dibandingkan kedalaman analisis kritis itu sendiri.

TikTok (Sumber: https://www.kompasiana.com/muhammadalfiansah5751/63bdc7e73f640d18412f0b92/munculnya-budaya-populer-di-media-sosial-tiktok)
TikTok (Sumber: https://www.kompasiana.com/muhammadalfiansah5751/63bdc7e73f640d18412f0b92/munculnya-budaya-populer-di-media-sosial-tiktok)

Jika kita berpikir kritis dengan fondasi Mazhab Frankfurt, fenomena yang ada di dalam TikTok juga memperlihatkan kegagalan ruang publik dalam bentuk digital. Menurut Habermas, ruang publik yang sehat seharusnya dibangun dari komunikasi rasional, saling pengertian, dan deliberasi. Namun TikTok sebagai medium visual-auditori cepat justru mendorong reaksi emosional instan daripada argumentasi. Algoritma tidak memberi ruang pada diskusi kompleks. Sebaliknya, ia mendorong konten yang memicu keterlibatan emosional, marah, sedih, geli, atau kagum. Bentuk pengakuan yang terjadi di TikTok juga sangat semu karena pengakuan didasarkan pada performa viral, bukan pada penghargaan terhadap eksistensi dan perjuangan autentik seseorang. Meski demikian, Mazhab Frankfurt tidak menolak teknologi secara mutlak. Mereka hanya mendesak agar masyarakat mampu mengembangkan kesadaran kritis atas media dan struktur ideologinya. Dalam konteks TikTok, ini berarti mengembangkan kemampuan membaca algoritma sebagai bentuk kekuasaan simbolik. Kreator dan pengguna yang sadar bisa mulai membongkar pola viralitas, memanfaatkan platform untuk membentuk ruang kontra-hegemonik misalnya dengan memproduksi konten reflektif, kolaboratif, atau menolak tren estetika dominan. Kritik terhadap budaya populer tidak harus bersifat elitis; sebaliknya, ia bisa dijalankan dari dalam, dengan strategi kultural yang cerdas dan sadar posisi.

Dengan demikian, TikTok bukan sekadar platform hiburan, melainkan medan pertarungan ideologi. Dalam dunia yang terlihat semakin bebas, Mazhab Frankfurt justru mengingatkan kita bahwa kontrol dan represi bisa hadir dalam bentuk yang tidak kentara tersembunyi dalam layar ponsel, algoritma, dan kebiasaan scroll tanpa henti. Melalui TikTok, kapitalisme telah mengubah waktu senggang menjadi produksi nilai tambah, dan kesenangan menjadi alat kendali. Inilah momen ketika kritik sosial paling relevan untuk dikembalikan ke tengah budaya populer agar kesadaran tidak berhenti pada layar, tetapi bergerak menembus realitas.

Mazhab Frankfurt Menimbulkan Skeptisme, Sinisme dan Sifat Pesimistis

Saya akan mencontoh bagaimana seseorang yang menganalisis suatu fenomena menggunakan mazhab ini akan membuatnya menjadi lebih skeptis, sinis dan pesimis dalam melihat segala hal karena narasinya selalu negatif dan selalu menyalahkan berbagai pihak. Salah satu dampak negatif karena terlalu kritis dari Mazhab ini, memang analisisnya terkesan keren karena Mazhab Frankfurt dikenal dengan gaya tulisan yang sangat filosofis, abstrak, dan teoretis. Analisis mazhab ini sangat ahli membedah realitas, tetapi gagal menyentuh massa atau mempengaruhi gerakan sosial secara langsung. Ini membuat teori mereka tampak seperti "kritik dari menara gading akademis", tidak menyentuh realitas sehari-hari secara praktis. Meskipun masuk secara logika, bagi netizen media sosial, seseorang yang menggunakan mazhab ini terlalu overthinking.

Saya ambil contoh, trend Velocity di TikTok 2025, trend menampilkan editan video berkecepatan tinggi dengan transisi visual ekstrem, efek glitch, dan latar musik EDM atau hyperpop yang intens. Mazhab Frankfurt menganalisis nya dengan sangat akademis, berikut analisisnya, Dalam perspektif Mazhab Frankfurt, terutama Adorno dan Horkheimer, tren semacam ini dapat dibaca sebagai gejala lanjutan dari rasionalitas instrumental sebuah kondisi di mana semua hal, termasuk ekspresi seni dan estetika, tunduk pada prinsip efisiensi, produktivitas, dan kegunaan. Keindahan tidak lagi bermakna reflektif, melainkan diukur melalui kemampuannya menarik perhatian dalam hitungan detik. Kecepatan menjadi komoditas utama ketika waktu menjadi arena produksi kapitalistik.

Atau misalnya, lagu-lagu viral yang muncul di FYP. Lagu-lagu seperti "Stecu Stecu", "Garam dan Madu", ataupun "Bunga Abadi" menjadi viral di TikTok karena mampu mewakili suasana hati pengguna dan menjadi media ekspresi emosional. Mazhab Frankfurt akan melihat tren ini sebagai contoh bagaimana industri budaya mengeksploitasi emosi individu untuk tujuan komersial, mengubah ekspresi pribadi menjadi komoditas yang dapat dijual. Menurut Mazhab Frankfurt, musik populer yang diproduksi massal berfungsi sebagai alat ideologis yang menyamarkan realitas sosial yang penuh represi. Lagu-lagu yang viral di TikTok ini sering mereproduksi tema cinta, kehilangan, dan nostalgia dengan formula yang repetitif dan dapat diprediksi mewakili apa yang oleh Adorno disebut sebagai “standar budaya”. Alih-alih membebaskan, musik tersebut menenangkan dan menghibur secara semu (false needs), sehingga audiens tidak terdorong untuk mempertanyakan kondisi sosial yang menindas mereka.

Trend Stecu Stecu (Sumber: https://www.tiktok.com/@xinxin.go/video/7490036963895004434)
Trend Stecu Stecu (Sumber: https://www.tiktok.com/@xinxin.go/video/7490036963895004434)

Lebih dari sekadar hiburan, musik-musik viral ini menjadi bagian dari ritual digital afeksi di mana pengguna TikTok mengasosiasikan potongan lagu dengan video breakup, kehilangan orang tua, hingga rasa gagal. Ini menciptakan ilusi koneksi dan komunitas emosional, padahal sebenarnya yang sedang terjadi adalah komodifikasi afeksi. Industri musik dan platform digital memperoleh keuntungan finansial dari klik, views, dan engagement yang justru bersumber dari trauma kolektif atau pengalaman pribadi audiens. Adorno menekankan bahwa musik pop industrial kehilangan aura seni sejatinya, karena menjadi bagian dari produksi berantai. Lagu lagu viral yang ada di FYP dipopulerkan bukan karena inovasi musikalnya, melainkan karena algoritma TikTok mendorongnya ke permukaan berulang kali dipakai karena mudah, relatable, dan sesuai dengan estetika algoritmik. Emosi manusia yang autentik dikemas dalam formula yang dapat ditransaksikan.

Namun, sisi paling ironis dari semua ini adalah bahwa ekspresi emosi dalam lagu-lagu tersebut tidak membuka ruang kritik struktural, tetapi justru memperkuat sistem yang menindas. Ini menciptakan semacam katarsis palsu yang membuat pengguna merasa telah mengeluarkan rasa sakitnya, padahal hanya memasukkan diri mereka lebih dalam ke dalam struktur ekonomi afeksi. Seperti yang ditulis oleh Horkheimer, “apa yang diklaim sebagai kebebasan ekspresi justru menjadi bentuk baru dari dominasi ideologis”. Dengan demikian, viralitas lagu di TikTok tidak hanya mencerminkan selera audiens, tetapi memperlihatkan bagaimana budaya populer telah menjadi sistem penjinakan yang sangat halus. Mazhab Frankfurt akan menyebut ini sebagai kemenangan kapitalisme lanjutan mengubah kesedihan menjadi suara latar yang bisa dijual, disukai, dan didaur ulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun