Mohon tunggu...
Alfian Wahyu Nugroho
Alfian Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis Artikel

Selamat membaca beragam tulisan yang menganalisis berbagai fenomena dengan teori-teori sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Asumsi Hanya Jaksel dan Jakpus yang menjadi "Kota" Jakarta

14 Mei 2025   12:01 Diperbarui: 14 Mei 2025   12:09 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan dari atas Perpusnas (Sumber: https://www.rctiplus.com/news/detail/nasional/1909906/pemandangan-lantai-24-perpusnas-viral-di-instagram)

Sebelumnya harap diingat bahwa sosiologi itu non-etis, jangan nge-judge saya dengan tulisan ini. Saya ingin menuangkan pemikiran saya yang kali ini akan membahas sosiologi perkotaan lagi. Ide saya untuk menulis ini saya dapatkan ketika sedang berada di lantai paling atas Perpustakaan Nasional di Balai Kota, kalian bisa dari atas sana, lihat ke arah depan yang penuh gedung tinggi, lalu lihat samping kanan dan kiri, akan terlihat betapa minim-nya gedung-gedung tinggi dan banyaknya rumah-rumah desainnya masih kuno. Jakarta merupakan kota megapolitan, namun jika kita menulis Jakarta di Google, foto-foto yang ditampilkan adalah wilayah Monumen Nasional, kawasan M.H. Thamrin sampai Sudirman sebagai SCBD. Selama ini, ada anggapan terselubung bahwa hanya Jakarta Pusat dan Selatan yang disebut sebagai kawasan elit, sehingga secara eksplisit menjelaskan bahwa wilayah lain seperti Jakarta Timur, Barat, dan Utara dianggap sebagai "pinggiran" yang kurang penting. Dan perbedaan ini saya akui memang terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari. Saya sebagai anker yang selalu komuter naik KRL, tentu ada perbedaan ketika turun di Stasiun Sudirman dengan Stasiun Klender. Atau cobalah membandingkan pengalaman berbelanja Pasar Mayestik Jaksel yang mendapat renovasi penuh dengan berbelanja di Pasar Kramat Jati, Jaktim yang menjadi penyuplai kebutuhan pokok dengan gaya tradisional namun tetap bertahan dengan infrastruktur modern sekarang. Bahkan dari ketinggian Perpustakaan Nasional, kita bisa langsung melihat kontras ini di satu sisi ada kemewahan Bundaran HI, di sisi lain terlihat permukiman padat di bantaran kali. Di artikel kali ini, saya ingin menulis dengan rujukan sosiologi perkotaan yang bisa menjelaskan fenomena ini dari sudut pandang lain, selamat membaca tulisan ini.

Pola Kota Konsentris serta Realita Jakarta

Jika kita belajar Sosiologi ataupun Geografi waktu SMA, tentu kita menyinggung tata ruang kota dengan berbagai pola, diantaranya pola konsentris oleh Ernest Burgess, di mana pusat dari kota adalah zona bisnis (CBD) yang menjadi inti, lalu dikelilingi oleh zona-zona teratur dari kawasan komersial, permukiman kelas menengah, hingga wilayah industri di pinggiran. Konsep kota konsentris Ernest Burgess yang lahir dari pengamatan Chicago awal abad ke-20 menggambarkan perkembangan urban sebagai lingkaran-lingkaran teratur yang memancar dari pusat bisnis menuju pinggiran. Model ini menjadi acuan klasik dalam sosiologi perkotaan, tetapi Jakarta membuktikan bahwa teori barat tidak selalu relevan dengan kompleksitas kota-kota global selatan. Ibu kota Indonesia justru menunjukkan pola perkembangan yang terfragmentasi, dimana pusat-pusat aktivitas tumbuh secara sporadis tanpa mengikuti logika konsentris. Fakta di lapangan menunjukkan Jakarta memiliki multiple central business districts yang tersebar tidak merata. Kawasan Sudirman-Thamrin sebagai pusat pemerintahan dan bisnis sebagian besar harus berbagi peran dengan SCBD di Selatan. Pola ini menciptakan apa yang disebut para ahli sebagai polycentric urban development, dimana tidak ada lagi satu pusat kota tunggal. Yang menarik, masing-masing pusat ini dikelilingi oleh permukiman dengan karakter berbeda-beda, membentuk pola urban yang tidak mengikuti zona Burgess.  

Jakarta tumbuh bukan sebagai kota yang merata, melainkan seperti mosaik pecah yang tidak pernah tersusun utuh kembali. Di satu sudut, SCBD menjulang dengan pencakar langitnya yang berkilauan, sementara di sudut lain, permukiman padat di Cilincing terus bertahan tanpa akses air bersih yang layak. Keduanya adalah Jakarta, tapi hidup dalam alam yang berbeda. Pola pembangunan ini menciptakan kawasan-kawasan premium yang terhubung secara vertikal dengan jaringan global, tapi terputus secara horizontal dari tetangga terdekatnya. Misalnya semua fasilitas di daerah Senopati bisa terhubung oleh jalan tol dan jalur MRT yang mulus sehingga membentuk jaringan eksklusif bagi kaum urban kelas atas. Sementara itu, wilayah seperti Duren Sawit atau Cengkareng tetap terjebak dalam kemacetan kronis dan infrastruktur yang setengah jadi. Contoh lain, seorang eksekutif di Sudirman mungkin lebih mudah berkomunikasi dengan rekan di Singapura daripada dengan warga di rusunawa sebelah kantornya. Inilah wajah baru ketimpangan perkotaan di abad 21. Yang lebih memprihatinkan, kesenjangan ini terus direproduksi melalui kebijakan yang tampaknya netral. Alokasi anggaran transportasi yang lebih besar untuk MRT fase selanjutnya, sementara angkot di Jakarta Barat dibiarkan mati pelan-pelan. Pembangunan mal-mal baru di kawasan elite, sementara pasar tradisional di pinggiran kesulitan mendapatkan renovasi. Setiap keputusan tata kota, sadar atau tidak, semakin mengukuhkan pembagian ruang yang timpang ini.  

Jaksel dan Jakpus berkembang sebagai diibaratkan seperti enklave yang terhubung dengan jaringan kapital internasional, sementara Jaktim, Jakbar dan Jakut menjadi penyangga yang menyediakan tenaga kerja murah dan jasa pendukung, namun tetap terpinggirkan dalam alokasi sumber daya. Kita bisa kihat bagaimana MRT membentang dari Bundaran HI ke Lebak Bulus, sementara warga Jaktim atau Jakbar bahkan di Jakut pun harus bergantung pada Commuter Line yang sudah overcapacity. Data bahkan menunjukan Kawasan seperti Senopati atau Kuningan dengan cepat berubah wajah menjadi distrik komersial premium, mendorong penduduk asli yang tidak mampu semakin ke pinggiran. Data Dinas Perumahan DKI menunjukkan, dalam 10 tahun terakhir, 60% proyek properti kelas atas terkonsentrasi di Jaksel dan Jakpus, sementara pembangunan rusunawa justru dipusatkan di wilayah timur dan utara. Ini memunculkan ketimpangan tajam kelas sosial bahkan secara geografis. Bahkan realitanya lagi yang lebih memprihatinkan, pembagian ini tidak terjadi secara alamiah, melainkan dikonstruksi secara sistematis melalui kebijakan tata kota. Perda RDTR Jakarta secara tidak langsung mengukuhkan hierarki wilayah dengan memberi insentif lebih besar untuk pengembangan kawasan komersial di selatan dan pusat. Sementara di wilayah lain, seperti Marunda atau Cakung, kawasan industri dibiarkan tumbuh liar tanpa perencanaan tata ruang yang efisien.  

Meskipun begitu, dibalik semua ketidakadilan ini, sering muncul cerita-cerita kecil tentang ketahanan. Pasar-pasar tradisional yang tetap bertahan meski terhimpit atau ada komunitas warga yang mengubah bantaran kali menjadi ruang publik kreatif. Warung-warung kopi yang menjadi ruang diskusi alternatif di tengah dominasi kafe-kafe mahal. Merekalah yang sebenarnya menjaga denyut kehidupan kota ini, jauh dari gemerlap pusat-pusat komersial yang sering dikira sebagai "wajah asli" Jakarta.

Faktor Historis yang Memunculkan Ketimpangan Struktur

Disclaimer, maaf jika ada kesalahan data, dari berbagai sumber yang sudah saya kumpulkan, Jakarta tidak lahir sebagai kanvas kosong. Ketimpangan yang kita lihat hari ini adalah akumulasi dari lapisan-lapisan sejarah yang saling bertumpuk. Sejak era Batavia abad ke-17, Belanda sudah membagi kota secara hierarkis wilayah sekitar Stadhuisplein (sekarang Fatahillah / Kota Tua) untuk orang Eropa, sementara masyarakat pribumi disingkirkan ke pinggiran seperti kawasan Meester Cornelis (sekarang Jatinegara). Pola urban ini menjadi awal ketidakadilan spasial di Jakarta. Ditambah, pada pasca kemerdekaan, pembagian kelas secara spasial bukannya hilang malah berevolusi. Kawasan Menteng dan Kebayoran Baru yang awalnya dibangun sebagai hunian pejabat Belanda beralih fungsi menjadi permukiman elite baru. Sementara proyek-proyek permukiman pekerja seperti Tebet dan Pejompongan justru terabaikan. Data arsip nasional menunjukkan, 70% anggaran pembangunan DKI tahun 1950-1960 dialokasikan untuk menyempurnakan kawasan elite warisan kolonial ini. Memasuki reformasi, demokratisasi tidak serta merta mengubah pola spasial ini. Justru, liberalisasi ekonomi malah mempercepat fragmentasi. Pembangunan BSD di Jaksel menunjukkan bagaimana kota berkembang bukan melalui perencanaan terpusat, tetapi melalui logika investasi properti. Sementara di utara, kawasan seperti Marunda justru menjadi tempat pembuangan warga yang tergusur dari proyek-proyek elite.

Jakarta tempo dulu (Sumber: https://www.inilah.com/foto-lawas-jakarta-tempo-dulu)
Jakarta tempo dulu (Sumber: https://www.inilah.com/foto-lawas-jakarta-tempo-dulu)

Menurut saya, yang sering dilupakan adalah peran masyarakat dalam melawan historis ini. Kampung Akuarium yang bangkit kembali setelah penggusuran, atau komunitas Ciliwung Merdeka yang mengubah bantaran sungai menjadi ruang edukasi, menunjukkan bahwa ruang urban selalu menjadi medan pertarungan. Sejarah bukanlah takdir, melainkan rangkaian pilihan yang bisa ditantang. Membaca ketimpangan pembangunan di Jakarta hari ini yang kita lihat bukanlah suatu kebetulan, tetapi hasil dari pilihan-pilihan politik dan ekonomi selama berabad-abad. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun