Mohon tunggu...
Alfain Aknaf Rifaldo
Alfain Aknaf Rifaldo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia

Hanya mas mas biasa yang tidak kuat mengonsumsi kopi tanpa air Instagram : @aaknafr

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasi Bungkus Gratis di Hari Jumat dan Perjuangan untuk Mendapatkannya

4 September 2021   21:14 Diperbarui: 4 September 2021   21:33 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salat Jum'at, di beberapa tempat, bukan hanya sekedar salat. Ada beberapa masjid yang mempunyai kebijakan untuk membagikan nasi kepada jamaahnya sehabis Salat Jum'at. Nasi-nasi tersebut berasal dari para donatur maupun dari kas masjid tersebut dan dibagikan dalam rangka sedekah.

Salah satu daerah yang saya tahu konsisten membagikan nasi bungkus sehabis Salat Jum'at adalah Jogjakarta. Sudah hampir dua tahun saya tinggal di Jogja. Selama waktu itu, saya perhatikan hampir semua masjid di Jogja yang saya temui selalu membagikan nasi bungkus sehabis Salat Jum'at. Awalnya saya pikir hanya masjid-masjid besar saja, ternyata masjid yang tidak terlalu besar pun melakukan hal yang sama.

Kegiatan derma yang rutin dilaksanakan oleh masjid-masjid tersebut sangat membantu mahasiswa pada tanggal tua untuk terus melanjutkan hidup. Apalagi manusia secara naluri memang senang diberi, apapun bentuknya. Nasi bungkus gratis ini juga berhasil memantik semangat para muslim untuk melaksanakan Salat Jum'at. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Namun, meskipun beberapa masjid tersebut rutin menyediakan nasi bungkus gratis, nyatanya para jamaahnya tidak selalu kebagian nasi bungkus tersebut. Hal ini sangat saya maklumi karena jumlah jamaah Salat Jum'at relatif banyak, sedangkan nasi yang tersedia tidak selalu bisa mencukupi semua jamaah tersebut.

Saya pribadi pun sering tidak kebagian nasi bungkus tersebut. Walaupun tidak kebagian, saya masih bisa menerima dengan legowo, siapa tahu memang bukan rejeki saya. Siapa tahu nasi tersebut diambil oleh orang yang lebih membutuhkan, musafir misalnya. Pokoknya, kala itu saya terus berpikir dan bersikap positif.

Hingga pada akhirnya saya mengetahui fakta yang membuat saya kecewa. Yaitu  ketika saya tahu bahwa sebagian nasi bungkus tersebut rupanya diambil oleh anak-anak kecil. Masalahnya, anak-anak kecil tersebut saya yakin tidak sedang berada dalam masalah finansial. Setidaknya jikapun iya, mereka masih berada di kampung halaman masing-masing, tidak di perantauan seperti kami.

Yang lebih mengiris hati, anak-anak kecil tersebut terkadang ada yang mengambil dua bungkus nasi! Sungguh tega! Ketahuilah, di saat anak kecil tadi mengambil nasi bungkus sambil tersenyum sumringah, ada saya dan kawan-kawan perantau lain yang hatinya teriris-iris. Sudah hatinya teriris, harus ditambah pula oleh perut yang mulai keroncongan karena lapar.

Daripada saya makin dongkol karena jarang kebagian nasi gratis, yang nanti imbasnya adalah rasa iri dan dengki yang jelas tidak baik menurut agama, maka saya putar otak dan membuat strategi agar tiap habis Salat Jum'at kebagian nasi. Satu upaya pertama yang saya coba lakukan adalah dengan berangkat lebih awal ke masjid.

Dengan berangkat lebih awal, saya memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan nasi gratis. Dari pengalaman sebelumnya, saya kalah cepat dengan anak-anak karena saya berada di saf (baris) belakang. Sedangkan anak-anak tadi berada di saf tengah, tepat di sekitar tempat menaruh nasi gratis tersebut.

Mulailah saya mencoba untuk berangkat lebih awal ke masjid. Tapi sial, ternyata saya datang terlalu awal. Masjid masih relatif sepi. Karena masih sepi, saya diminta oleh pengurus masjid untuk duduk di saf depan, yang mana cukup jauh dari lokasi nasi bungkus diletakkan. Mau menolak tapi saya orangnya tidak enakan. Akhirnya sudah ditebak, saya kembali tidak kebagian nasi.

Tidak mau jatuh ke lubang yang sama, saya pun mengevaluasi kegagalan saya tadi. Saya teliti kembali variabel-variabel yang menjadi faktor kegagalan upaya saya. Salah satu variabel yang paling berpengaruh adalah waktu. Sebelumnya, saya datang terlalu awal. Maka selanjutnya, saya akan datang sedikit lebih terlambat.

Jum'at selanjutnya pun tiba. Saya pun sudah selesai bebersih diri dan berpakaian rapi, waktu ideal yang kuperhitungkan pun tiba. Waktunya saya berangkat. Saya berangkat dengan berjalan kaki, karena saya merasa kaki saya masih cukup tangkas. Di perjalanan, wudlu saya batal karena saya terpaksa kentut. Daripada perut sakit, lebih baik dilepaskan saja. Toh nanti di masjid pun masih bisa berwudlu lagi. Begitu pikir saya.

Sesampainya di sana, saya bernapas lega. Kedatangan saya cukup tepat, masjid dalam keadaan belum terlalu ramai tapi sudah tidak terlalu sepi juga. Kemenangan sudah di depan mata, saya hanya tinggal berwudlu, lalu ambil posisi duduk yang strategis di sekitar lokasi nasi bungkus diletakkan. 'Akhirnya kalian kalah, anak-anak' gumam saya sambil tersenyum.

Saya pun bergegas ke tempat wudlu. Rupanya di tempat wudlu sedang ada banyak orang mengantre. Antreannya tidak terlalu panjang, hanya paling 3-4 orang saja per kerannya. Saya pun mengantre di keran paling ujung yang hanya tinggal menunggu tiga orang lagi. Masih aman.

Antrean semakin berkurang, kini giliran orang di depanku untuk berwudlu. Saat dia menyentuh keran, tidak disangka keran tersebut lepas. Spontan dia kaget, orang di sebelahnya juga kaget. Saya tidak. Untung saja airnya tidak terlalu deras sehinga tidak sampai bikin orang di depanku basah kuyup. Mungkin sedikit basah, iya. Tapi tidak sampai kuyup.

Karena airnya tidak terlalu deras, keran bisa dengan mudah terpasang. Kali ini orang di depanku memastikan keran tersebut benar-benar kencang. Saatnya dia berwudlu. "Lha kok airnya malah gak keluar ya, pak?" tanya dia tiba-tiba kepada orang di sebelahnya. "Itu lho sampean salah puter kerannya mas. Harusnya berlawanan arah jarum jam" orang yang di sebelahnya menjelaskan, dengan berusaha menahan sabar.

Kejadian itu tanpa aku sadari cukup memakan waktu. Aku baru sadar ketika selesai berwudlu dan menuju ke tempat yang sudah aku tandai sebagai lokasi strategis untuk mengambil nasi. Aku kaget sekaligus geram ketika tahu bahwa tempat tersebut sudah diduduki oleh anak-anak. Bukan hanya satu atau dua, tapi belasan. Sepertinya anak-anak kecil ini saling berkonspirasi untuk menghalangiku.

Kegagalan-kegagalan tadi tentu tidak akan membuatku menyerah. Saya akan terus berusaha, demi nasi bungkus gratis yang rasanya biasa saja itu. Walaupun ada banyak hambatan dan kekacauan yang mungkin akan datang, saya akan tetap berupaya. Terakhir, akan saya kutip perkataan yang membuatku terus bersemangat, yaitu dari Sun Tzu, yang berbunyi :

Seribu pertempuran, seribu kemenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun