Mohon tunggu...
Syahdan Adhyasta
Syahdan Adhyasta Mohon Tunggu... Administrasi - Profil

Hidup ini bagaikan sebuah lautan, dan kitalah nelayan yang sedang mengarunginya.. Sejauh apapun kita melaut, pasti akan ada masa dimana kita harus kembali ke daratan tempat kita berasal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku.. Ayah yang Tak Berguna

17 Juli 2018   14:12 Diperbarui: 17 Juli 2018   14:15 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: elisamorgan.com

Pernah aku bertanya pada karib kerabatku, apalah yang akan terjadi jika kita menikahi wanita yang kita cintai namun ia tidak memiliki perasaan yang sama dengan kita. Mereka dengan mudahnya menjawab, "Nikahi saja... akan tumbuh cinta jika kalian telah menikah nantinya."

Akupun mempercayai kata-kata itu, dan membulatkan niatku untuk menikahinya meski aku tahu tak benar-benar ada cinta di hatinya kepadaku.

Tiga tahun sudah kami menikah, dan kami telah memiliki putri kecil kami. Penyejuk mata hati itu aku berikan nama Suci, agar ia kelak menjadi wanita dengan hati bening, sebening tatapan matanya ketika ia lahir dari rahim ibunya dan melihatku untuk pertama kalinya. Itulah kali pertama aku merasakan hatiku bergetar hebat dan mataku tak kuasa menahan tangis mendengar suaranya untuk pertama kalinya.

***

Istriku yang tidak benar-benar mencintaiku, memutuskan untuk pergi meninggalkan kami.

Aku sudah membujuk dan merayunya untuk tetap tinggal demi kebaikan buah hati kami yang baru berusia dua tahun itu. Ia tetap tidak bergeming dan tetap memutuskan untuk pergi. Aku pun menjatuhkan talak kepadanya, karena memang tak pernah ada di cinta di antara kami.

Semenjak istriku pergi, aku kerap kali menangis melihat wajah anakku. Betapa kasihannya ia, anak sekecil ini sudah tak lagi mendapat sentuhan cinta dari ibu yang melahirkannya. Apakah benar-benar tak ada cinta di hatinya meski untuk darah dagingnya sendiri?

***

Aku kerap kali menitipkan anakku di tempat penitipan anak dekat tempatku bekerja. Kadang aku harus memaksakan diriku untuk tegar meninggalkannya disana. Aku tahu anakku bukan lah anak yang mudah menerima orang lain. Ia kerap kali ketakutan dan menjerit ketika ada orang yang tak dikenalnya, mendekatinya.

Mungkin anakku, menangis seharian di sana. Menjerit-jerit dan memanggil namaku ataupun ibunya. Tapi, apalah yang dapat aku lakukan? Tak lagi aku memiliki saudara disini. Ibuku di kampung sakit-sakitan dan tak mungkin aku menitipkan Suci kepadanya. Hanya menambah beban di hari tuanya.

Di sore hari, aku menjemput dirinya. Aku mendapati dirinya tertidur sendirian di salah satu kasur kecil yang ada disana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun