Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kami dan Kucing-Kucing

20 Agustus 2022   07:57 Diperbarui: 20 Agustus 2022   11:55 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Netra pagi ini, Sabtu (20/8/2022) (foto: Lex)

Saya tidak mencatat kapan persisnya kucing-kucing mulai rajin tinggal di rumah kami di Depok. Saya cerita tentang beberapa ekor saja.

 Sepulang dari Papua pada awal Februari 2018 sudah ada yang namanya Orens, karena warna bulunya agak kuning-kuning. Seperti jersey klub Persija Jakarta.  Ada pula Poki, kucing putih dengan belang hitam seperti gugusan pulau-pulau  di Indonesia. Terakhir Kumel, yang menurut kami kucing paling menyedihkan dengan wajah memelas.

 Masing-masing punya "karakter". Ada yang genit-genit. Ada yang jinak-jinak merpati. Ada yang datang terus taruh air kencingnya di pintu, lalu kabur. Makanya kalau ia datang, gagang sapu selalu siap di tangan! Ia sejenis "penjajah" yang menandai daerah kekuasaannya dengan air kencing.  

Orens adalah kucing jantan. Entah berapa usianya. Mungkin tiga tahun? Awalnya sangat kurus. Datang kalau membaui amis ikan dari dapur. Lalu ia mengeong-ngeong. Lintang anak kami yang kecil menyukainya karena jinak. Tapi Orens ini kotornya minta ampun. Barangkali karena lapar---kawan, kucing di kompleks dan gang kami tidak punya pemilik sah---ia  kerap datang ke rumah. Dikasih makan. Dia betah. Karena kerap dipeluk-peluk oleh  Lintang, akhirnya Retno istri saya membelikan shampo dan beberapa jenis  obat kucing. Karena rajin dimandikan dan makan teratur, bulunya menjadi bersih dan badannya mulai gemuk. Orens kucing pertama yang diperhatikan makanannya. Dibelikan pelet kucing segala. Itu makanan kucing berbentuk ikan kecil yang baunya amis. Mungkin bahan bakunya dari ikan, atau trasi? 

Tetapi Orens ini kucing penakut. Dia takut kucing yang lain, apalagi kucing jantan  besar bernama Ocol. Yang selalu datang kencing di depan pintu kami itu. Ia kucing milik Pak Aan, tetangga kami. Begitu Orens melihat Ocol melintas di depan rumah, ia langsung berlari bersembunyi, sambil mengintip.

Orens juga takut petir. Begitu hujan turun dan petir menyambar---Depok  dan Bogor salah salah satu daerah dengan tangkapan petir paling banyak di Indonesia---ia  berlari ke bawah kursi. Kepalanya ia "tanam" di kakinya. Takut sekali. Analisa kami yang awam bahasa kucing, Orens sering ketakutan mungkin karena kerap di"bully" waktu masih kecil.

Dalam dunia percintaan antar kucing pun Orens selalu "kalah". Tidak pede. Nyatanya Poki dan Kumel, dua kucing betina, direbut oleh kucing lain.

 Orens sudah mati beberapa waktu lalu.

Poki. Kucing betina. Waktu datang pertama kali ia dalam keadaan bunting. Berselang dua minggu, perutnya sudah kempes. Entah ia beranak di mana? Memang ada kebiasaan di gang kami, anak-anak kucing sering dibuang. Tiba-tiba saja ada kucing kecil mengeong-ngeong  di tanah lapang atau kuburan.  Pasti kucing dari gang lain.

Hitam dan Mas, masih sehat sampai kini (foto: Lex) 
Hitam dan Mas, masih sehat sampai kini (foto: Lex) 

Nah, si Poki setelah anak-anaknya tidak ada-entah mati atau  dibuang orang-menjadi penghuni tetap di rumah. Beberapa minggu kemudian sudah ada dua kucing jantan kerap bertandang. Poki pasang aksi. Berguling-guling di depan pintu. Bagaya dia. Sementara dua kucing jantan itu berada di gerbang. Setia menantinya.  Sampai suatu kali Poki menghilang selama beberapa hari. Ia datang lagi dalam kondisi kotor dan lapar. Dimandikan. Dikasih makan. Selang beberapa minggu, perutnya mulai membesar. Oalah, bunting lagi rupanya. Sekarang sedang menunggu waktunya dia beranak.

Kumel punya kisah berbeda. Ketika itu anaknya tertabrak motor di Gang Mandor.  Dira, cucu Pak RT Djamil (alm) yang baru pulang sekolah, melihat anak kucing tergeletak di gang, ditunggui induknya. Dira jatuh hati. Ia membawanya ke dekat rumah kami (sebab masih ada tanah lapang dan kebun di samping) dan minta tolong dikuburkan. Induknya terus saja mengikuti dari belakang sembari mengeong. Mungkin ia menangis. Sedih, karena anaknya mati ditabrak. Saya pikir, naluri induk di mana-mana sama.

 Setelah dikubur, si induk tetap di situ. Berhari-hari. Sampai suatu ketika hujan. Si induk lari mencari naungan ke rumah.

Sejak itu ia menjadi penghuni tetap. Beranak dua kali, beberapa mati dan kini ia hanya menyisakan Mas, si induk muda yang sudah memberinya "cucu" dua kali.

Kumel
Kumel "menyelamatkan" anaknya (foto: Lex) 

Sebab wajahnya selalu memelas, dan kami perlu nama untuknya, kami sepakat memanggilnya Kumel, Kucing Memelas. Kumel menjadi "ratu" di rumah, sampai Mas dewasa.

Salah satu kebiasaan Kumel adalah pergi jauh dari rumah, berhari-hari, kalau sakit. Ia pulang kalau sudah benar-benar kelaparan. Kami rawat sampai sembuh, dan ia menetap lagi. Tetapi kalau sakit, Kumel pergi lagi. Selalu begitu dan menjadi tipikal Kumel. Saya berpikir, mungkin ia bermaksud agar tak menjangkiti yang lain?

Makannya pun sangat pelan dan rapi. Tak sebutir peletpun ia biarkan. Kalau ada yang tercecer, pasti ia "bersih"kan. Habis makan, dia kembali ke tempat biasa tidur atau pergi. Pagi-pagi, begitu pintu rumah dibuka, Kumel yang pertama menunggu di depan pintu.

Minggu ketiga September 2021, Kumel menghilang dari rumah. Tetapi setelah tiga hari menghilang, Kumel muncul di depan rumah tetangga. Jalannya sempoyongan. Tetangga datang melapor ke rumah, lalu Lintang pergi membopongnya. Kumel sudah tidak kuat berdiri saat itu. Christian putra kami yang pertama membersihkan badannya, sebab kotor sekali. Kumel dimasukkan ke kandang.

Suatu pagi masih dalam bulan September Kumel mati, setelah berjuang untuk bertahan hidup. Kami kuburkan di dekat kuburan anaknya, yang membuatnya sampai ke rumah tiga tahun lalu.

Kami berprinsip, menguburkan kucing secara baik-baik, setidaknya sebagai tanda terima kasih atas kebersamaan dan kesenangan yang sudah mereka berikan kepada kami.

Kini kami memiliki 9 ekor kucing. Ada yang lahir dari induk (yang sudah mati), tetapi ada pula yang ketemu di got karena dibuang. Seperti kisah kucing jantan yang juga berwarna orange. Ia menjadi maskot di rumah sekarang. Suatu pagi Retno pergi belanja dan menemukan seekor kucing kecil mengeong-ngeong di dalam got. Kotor dan berbau. Ia hanya berputar-putar di sana. Retno memungutnya dan dibawa ke rumah. Oh, ternyata kedua biji matanya sudah tidak ada. Ia buta. Sebab itu kami menamainya Netra. Kini ia punya nama lain, yakni Gendut. Karena badannya gendut berisi dengan bulu yang bersih.

"Menyusui" kucing yang dibuang di got-got (Foto: Lex) 

Memang harus diakui bahwa  kucing di kawasan tempat kami tinggal berkembangbiak tanpa bisa dikendalikan. Kepingin sih semuanya disteril, antara lain dengan dikebiri, agar sedikit menghambat mereka beranak setiap beberapa bulan sekali. Tapi biaya untuk steril masih mahal.

Yang bisa kami lakukan saat ini adalah menyiapkan obat-obatan sederhana, memandikan seminggu sekali, merawat mereka ketika sakit dan memberi makan tiga kali sehari.

Dan kalau akhirnya ada yang mati, kami kuburkan dengan baik. Hanya itu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun