Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Frans W.Hebi: Kebaikan Berbuah Kebaikan

18 Agustus 2022   13:42 Diperbarui: 18 Agustus 2022   13:46 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak Frans W. Hebi (Sumber: Radiomaxfm.com) 

Sedikit orang Sumba di NTT yang menjadi wartawan. Perkiraan saya, Frans W. Hebi  (FWH, 77 tahun) adalah angkatan pertama dari yang sedikit itu. Kini jumlahnya bisa mencapai sekitar 30 orang. Beberapa di antaranya saya kenal baik.

Waktu jumpa pertama saya kecele. Setelah lulus dari SMP Wonakaka di Kodi (dulu masih Kabupaten Sumba Barat) pada tahun 1989, saya masuk SMA Anda Luri di Waingapu, Sumba Timur. Guru Bahasa Indonesia di kelas satu adalah FWH.

Gambaran FWH di depan mata tidak sama dengan yang ada dalam benak saya. Saya berpikir FWH tinggi, ganteng, putih seperti para pastor di Sumba. Maklum waktu itu dalam kepala kami patron untuk orang yang hebat adalah para pastor. Namun yang berdiri di depan kelas ini seorang yang rambutnya kribo, mata selalu merah, badannya kecil dan mengunyah sirih-pinang. Belakangan saya tahu kalau mata FWH memerah penyebagnya dua hal: Pancing malam di laut, atau menulis sampai pagi.

Ternyata bukan saya sendiri saja yang kecele pada "pandangan pertama". Waktu berkunjung ke rumah FWH di Kalu,  Waingapu, Sumba Timur, saya dibuat tertawa hingga  "perut sakit". FWH bercerita dengan kocak bagaimana ia sering tidak "dianggap" oleh orang yang baru pertama kali berjumpa dengannya.  

Tetapi pengalaman itu membuat saya kian yakin untuk tidak "judge a book by its cover". Saya sudah lama bertobat untuk tidak menarik kesimpulan tentang seseorang atau sesuatu hanya dari tampilan luarnya saja. Saya "mengimani" cara kerja wartawan yang mengharuskan check-crosscheck-double check!

Meskipun 'cover'nya seperti itu, rasa kagum saya tidak luntur. Dalam hati saya berujar: "Hebat juga ini orang. Tampang seperti itu saja 'ditakuti' di seluruh Sumba." Soalnya sewaktu masih di Kodi, saya kerap mendengar nama FWH disebut,  terutama yang berkaitan dengan masalah tanah atau pencurian ternak dan persoalan sosial lainnya. Dan cerita yang saya dengar selalu tentang gentarnya aparat ketika FWH mengeluarkan kartu pers-nya. Waktu itu, di mana-mana di Sumba, aparat ibarat raja. (Soal menunjukkan kartu pers ini FWH bercerita kalau si aparat sudah sangat keras kepala tidak mau mendengarkan penjelasannya).  

Hubungan saya dengan FWH tidak intens waktu di SMA. Hanya sebagai guru dan murid. Selebihnya, FWH saya lihat berjalan kaki saban hari ke SMA Anda Luri dari rumahnya di Prailiu,  dengan sebuah ciri khas; buku dikepit di lengan kiri, sementara tangan kanannya leluasa diayun setinggi bahu. Mekanis. Layaknya anggota pengibar bendera tujuh belas agustus.

Dan satu lagi, FWH selalu berjalan di sisi kiri dengan tegak. Kepalanya terangkat. Lurus memandang ke depan. Pada cara dia berjalan itu,  saya sedikit melihat tipikal orang Kodi dalam dirinya. Dataran rendah Kodi yang rata telah menciptakan cara berjalan yang kaku tak berirama bagi penduduknya. Dan saya selalu menjadi korban olok-olok kawan satu kelas di SMA: Dasar orang Kodi, jalan kayak pohon kelapa!

Waktu di SMA saya tinggal di seminari menengah Padadita (lalu berubah nama menjadi Asrama Pewarta Injil Padadita meskipun metode pengajarannya tetap sama). Di sini bahan bacaan cukup melimpah. Juga ada tumpukan koran dan majalah bekas di perpustakaan.

Dua hal yang segera menyita perhatian saya adalah: Ragawidya karya YB Mangunwijaya dan tulisan bersambung di Mingguan DIAN tentang ABC Menulis oleh FWH. Itulah untuk kali pertama saya membaca tentang bagaimana membuat paragraf pembuka yang memikat dan paragraf penutup yang menohok, dengan berbagai variannya.

Kliping koran itu saya bawa sampai kuliah di Yogyakarta. Waktu saya mulai berguru menulis berita kepada Emanuel Kaley, saya tiru habis-habisan ABC Menulis itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun