Mohon tunggu...
Alexander Philiph
Alexander Philiph Mohon Tunggu... Auditor - Buruh Pemerintah RI di BPKP || Founder PeopleTalkPeople || Pengamen & Tukang Potret di Jalanan || Gamer || Penulis Lepas

“Agama bukanlah candu bagi masyarakat, Agama itu pembenaran akan keyakinan yang telah menjadi tradisi dan budaya. Ketika pembenaran itu bertemu dengan pembenaran yang lain, distorsi bisa saja terjadi yang acapkali kaum minoritas menjadi korban dari pembenaran atas keyakinan itu sendiri, yang belum tentu apakah kenyakinan tersebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. (Alexander Philiph Sitinjak)” -LIA, Lux In Adulescens!! (Cahaya Dalam Anak Muda)-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gerakan Parlemen Jalanan versus Gerakan Media Sosial

10 Mei 2017   10:24 Diperbarui: 10 Mei 2017   10:46 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“GERAKAN PARLEMEN JALANAN VERSUS MEDIA SOSIAL”

Oleh : Alexander Philiph Sitinjak

Lama sekali tidak menulis di kolom blogger kompasiana ini, setelah nyaris dua tahun tidak ada perkembangan dalam konten ini, penulis lebih sering menulis dalam kolom media sosial facebookmaupun twitter.Dengan peristiwa yang terjadi pada Basuki Tjahja Purnama (Ahok), saya mencoba menganalisa pola gerakan yang bertumbuh terhadap Ahok terutama setelah vonis dua tahun penjara yang akhirnya diketuk majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Putusan itu diatas tuntutan jaksa, yakni 1 tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Majelis Hakimpun memerintahkan Ahok untuk ditahan. Dan pada pagi harinya 10/5, Ahok ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua.

Seluruh mata bangsa Indonesia memantau proses Ahok dalam menegakkan hukum yang seadil-adilnya, ratusan ribu bahkan bisa jadi jutaan komentar tentang Ahok baik yang mendukung Ahok agar dipenjara, maupun yang menuntut Ahok bebas. Bahkan duniapun ikut serta melihat perkembangannya, bahkan dengan nada keras ujicoba bagi toleransi dan pluralisme di Indonesia. (Lih. http://www.dw.com/id/tanggapan-media-asing-atas-vonis-ahok/a-38768524 ). Sampai saat inipun di kolom media sosial yang penulis miliki, komentar tentang Ahok pun masih terus berlanjut. Entah sampai kapan selesai. SAYA LELAH ! SAYA LELAH DENGAN MEDIA SOSIAL ! !

Berbagai macam dukungan terhadap Ahokpun terlontar, bahkan tidak heran sampai yang mengharapkan Ahok segera dibebaskan pun ada. Penulis sempat memperhatikan beberapa video yang telah menjadi viral, banyak yang menangis pilu akan putusan yang belum berkekuatan hukum tetap yang dialami Ahok. Ya bagi penulis, gerakan media sosial yang tidak ada artinya sama sekali, hanya membuat mata ini lelah, hati semakin panas, tensi mengalami kenaikan, dan pikiran bisa menjadi berat.

Silent Majorityyang dipopulerkan oleh Richard Nixon (Mantan Presiden AS), sangat tepat ditujukan bagi kita semua sekelompok besar masyarakat yang mempunyai suara mayoritas yang hanya bisa bercuap-cuap di media sosial. Kita yang masih asyik dengan dunianya dan kekakuan rutinitas hidup setiap hari. Kita masih mengatakan peristiwa Ahok ini sudah digariskan oleh Tuhan, kita wajib berdoa bahkan bersyukur kepada Sang Pencipta.  Penulis malah berpikirpun ketika pada saat ini kita bernafas dan kalian membaca tulisan ini sudah digariskan oleh Tuhan. Tak perlu membawa-bawa Tuhan hanya sekedar sebagai obat penghibur semata. Kita harus berpikir, apa yang harus kita lakukan terhadap semua peristiwa-peristiwa yang merobek rasa kebangsaan dari peristiwa “masih dugaan” penistaan agama oleh Ahok dan Habib Rizieq, juga dengan dugaan Penodaan Pancasila, dugaan Penghinaan Uang Negara, bahkan  dugaan kasus pornografi yang dialami oleh Habib Rizieq??

Sudahkah bisa kita melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi tersebut? Ada proses hukum yang menurut penulis, rasa keadilan itu belum terlihat, dan ketimpangan jelas ada. Segala proses dugaan permasalahan hukum yang dialami oleh Habib Rizieq belum satupun masuk dalam ranah pengadilan.

Berbanding terbalik dengan peristiwa hukum yang dialami oleh Ahok ini karena komentarnya di Pulau Pramuka pada 27 September 2016, terdapat delapan Aksi Bela Islam terbesar di Jakarta, belum terhitung aksi-aksi kecil yang dilakukan di Jakarta maupun luar Jakarta. Gerakan aksi ini jelas merupakan gerakan parlemen jalanan yang dilakukan oleh kubu pendukung Ahok untuk dijebloskan ke penjara. Berikut riwayatnya :

  • Aksi Pertama : Pada tanggal 14 Oktober 2016, Habib Rizieq Shihab yang juga pimpinan FPI mengecam akan melakukan aksi yang lebih besar jika tidak kunjung merespon kasus ini dalam 3 Minggu berikutnya. Disini kerusakan taman dilakukan oleh para peserta aksi serta menjadi viral di media sosial;
  • Aksi Kedua /Aksi Damai 411:Pada awal November para peserta dari luar Jakarta mulai berdatangan untuk mengikuti aksi ini. Aksi ini sendiri pada tanggal 4 November 2016, aksi ini dimulai usai Shalat Jumat, massa terkonsentrasi di Istana Negara. Terjadi kericuhan dalam aksi ini dikarenakan para peserta unjuk rasa tidak mau membubarkan diri setelah jam 6 sore sesuai aturan yang berlaku, dan respon Pemerintah terhadap aksi ini disampaikan oleh Presiden dengan mengatakan Pemerintah bersama Kepolisian berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini dalam waktu yang cepat dan juga secara transparan mungkin. Presiden juga menambahkan bahwa ada aktor politik yang bermain sehingga menimbulkan kericuhan pada aksi kali ini;
  • Aksi Ketiga / Aksi  Super Damai 212 :Dilaksanakan pada tanggal 2 Desember 2016, Presiden Joko Widodo hadir di tengah hujan dalam aksi ini. Terjadi perdebatan dalam jumlah peserta aksi ini, dari pihak peserta aksi mengklaim terdapat 7 juta peserta mengikuti aksi ini, sedangkan dari pihak lain menyatakan tidak mungkin sebesar itu;
  • Aksi Keempat /  Aksi 112 :Aksi ini dikoordinasi oleh Forum Umat Islam (FUI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI). Aksi 112 ini, kegiatan Zikir dan Tausiah di Masjid Istiqlal di Jakarta. Peserta mulai berdatangan ke lokasi sejak Jum'at malam dan kegiatan dimulai sejak salat tahajud pukul 2.00 WIB. Pada awalnya berbagai isu simpang siur dimunculkan di media massa yang memunculkan kesan bahwa aksi 112 akan dibatalkan. Akan tetapi pada tanggal 9 Februari 2017, FUI membuat siaran pers mengenai kegiatan aksi 112 yang berisi bahwa kegiatan aksi 112 yang awalnya berupa kegiatan long march atau jalan sehat diubah menjadi "Dzikir & Tausiyah Nasional untuk Penerapan Surat Al-Maidah 51: Wajib Pilih Pemimpin Muslim & Haram Pilih Pemimpin Kafir".Tidak ada pembatalan Aksi 112 karena tidak ada satu Undang-Undang pun yang dilanggar. FUI sudah menyampaikan pemberitahuan sesuai Undang-Undang. Tujuan aksi 112 ini yaitu memastikan dukungan penduduk Jakarta untuk menolak penodaan Al-Quran, menolak kriminalisasi dan penghinaan terhadap ulama, menjaga pilkada yang jujur dan adil, dan mewajibkan memilih kepala daerah yang muslim;
  •  Aksi Kelima / Aksi 212 (2017) :digelar pada tanggal 21 Februari 2017 yang terkonsentrasi di depan Gedung DPR;
  • Aksi Keenam / Aksi 313 :Diinisiasi oleh Forum Umat Islam, diselenggarakan pada tanggal 31 Maret 2017, dengan tuntutan meminta memberhentikan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dari jabatannya sebagai GubernurDaerah Khusus Ibukota Jakarta;
  • Aksi Ketujuh / Aksi 55 :Aksi yang dilaksanakan pada 5 Mei dengan tuntutan menyampaikan kepada Mahkamah Agung agar Majelis Hakim yang memimpin sidang tidak ada tekanan dalam membuat vonis/putusan.
  • Aksi Kedelapan :Aksi mengawal tuntutan vonis Ahok, Ahok pun mendapatkan vonis dua tahun penjara.

Gerakan parlemen jalanan yang dilakukan untuk menuntut Ahok bersalah terkoneksi dengan gerakan media sosial. Ruang tersebut digunakan untuk melakukan komunikasi, propaganda, bahkan menarik minat peserta para aksi. Gerakan gabungan ini terbukti sangat efektif hingga akhirnya Ahok dinyatakan bersalah walaupun akhirnya putusan hakim tersebut belum berkekuatan hokum tetap, karena Ahok melakukan banding. Jelas terlihat gerakan media sosial yang dilakukan kubu pendukung Ahok hingga gerakan ribuan karangan bungapun tidak dapat mengubah putusan pertama yakni dua tahun tersebut.

Kembali pada Silent Majority, seandainya penulis berandai-andai mereka konon sekelompok masyarakat terbesar tidak benar-benar silentdalam gerakan parlemen jalanan, bahkan ikut serta berkeringat, dan merasakan panasnya lapangan sebagai arena meneriakkan perjuangan, bisa saja putusan dua tahun yang dirasakan Ahok tidak benar-benar terjadi. Bisa saja bukan?

Tapi benar Silent Majorityini selain kelompok besar masyarakat, mayoritasnya dari mereka adalah para pengguna media sosial, yang tidak mau berlelah-lelah, atau kehilangan waktu untuk bekerja, dan berpikir dengan melakukan dukungan melalui media sosial sudah tuntas kewajiban moral untuk menegakkan kebenaran. Atau malah penulis berpikir positif saja, kubu Silent Majoritytidak mau berbenturan sehingga ada tindakan anarki dengan kubu yang merasa mayoritas dirinya dan bergerak dalam parlemen jalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun