Mohon tunggu...
Alexander Manurung
Alexander Manurung Mohon Tunggu... Presiden Mahasiswa Institut Indobaru Nasional Batam 2024| Public Economic Enthusiast

Hallo,Perkenalkan Saya Alexander Manurung,Saya Adalah Seorang Mahasiswa Asal Batam,Kepulauan Riau,Saya Juga Seorang yang sangat giat menulis dan memperhatikan Kebijakan-Kebijiakan Yang di buat oleh pemerintah Daerah,Provinsi,maupun pemerintah pusat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Indonesia di Pusaran Geopolitik Global: BRICS, Layar Gelap Asing, dan Tragedi Tewasnya Diplomat Indonesia "

24 September 2025   23:17 Diperbarui: 24 September 2025   23:17 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Logo Geopolitik Global

Oleh Alex Manurung

Public Policy Enthusiast

Keputusan Presiden Prabowo Subianto menghadiri parade militer di Beijing telah menimbulkan resonansi geopolitik yang sangat kuat. Kehadiran itu tidak hanya menunjukkan kedekatan diplomatik dengan Tiongkok, melainkan juga simbol pergeseran orientasi Indonesia ke arah BRICS. Dalam konteks global yang tengah bergejolak, langkah ini dipandang berani, bahkan provokatif, oleh aktor-aktor global yang selama ini terbiasa melihat Indonesia berada dalam orbit mereka.

Teori unipolar dalam hubungan internasional menekankan adanya satu kekuatan dominan, yakni Amerika Serikat beserta aliansi NATO yang menopang hegemoninya. Sejak runtuhnya Uni Soviet, struktur unipolar ini menjadikan Barat sebagai aktor utama dalam mengendalikan sistem ekonomi, politik, dan keamanan global. Namun, munculnya BRICS sebagai blok alternatif menantang unipolaritas tersebut. Indonesia, dengan keberanian untuk mendekat ke BRICS, secara langsung menantang tatanan unipolar yang dibangun Barat.

Dalam kerangka teori Kenneth Waltz (Neorealisme/Strukturalisme), sistem internasional bekerja dalam anarki tanpa otoritas tertinggi, sehingga distribusi kekuatan (distribution of power) menentukan arah politik global. BRICS adalah simbol redistribusi kekuatan tersebut, dan keikutsertaan Indonesia menegaskan pergeseran keseimbangan (balance of power) dari Barat ke Timur. Dalam pandangan Waltz, langkah Indonesia akan memicu mekanisme balancing dari pihak unipolar, berupa tekanan politik, ekonomi, hingga intelijen.

Dari perspektif John Mearsheimer dengan Offensive Realism, negara besar terdorong untuk memaksimalkan kekuasaan mereka dalam sistem internasional. Amerika Serikat, sebagai hegemon, tidak akan pernah rela membiarkan munculnya pesaing regional atau blok multipolar yang dapat mengurangi dominasinya. Karena itu, langkah Indonesia mendekat ke BRICS tidak hanya dilihat sebagai pilihan ekonomi, tetapi ancaman langsung terhadap status quo unipolar. Bagi Mearsheimer, tekanan politik, aliansi militer, hingga operasi rahasia yang mungkin dialami Indonesia saat ini adalah konsekuensi logis dari upaya hegemon untuk mencegah lahirnya pesaing baru.

Dari perspektif ekonomi, keberanian Indonesia menegaskan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap dominasi dolar. BRICS tengah mendorong sistem perdagangan berbasis mata uang lokal yang mampu melemahkan monopoli dolar sebagai instrumen kekuasaan global. Teori Immanuel Wallerstein tentang World System relevan di sini: Barat selama ini menjadi core (pusat) yang mendominasi aliran modal dan perdagangan, sementara negara lain menjadi periphery. Dengan BRICS, Indonesia mencoba keluar dari jebakan periphery menuju semi-periphery yang lebih mandiri.

Sejarah menunjukkan bahwa setiap negara yang mencoba melawan struktur unipolar kerap menghadapi tekanan multidimensi. Instrumen ekonomi, politik, hingga operasi intelijen digunakan untuk menjaga stabilitas hegemoni. Hal ini selaras dengan pandangan Antonio Gramsci tentang hegemoni, di mana dominasi tidak hanya dilakukan dengan kekerasan militer, tetapi juga melalui ideologi, ekonomi, dan penetrasi budaya. Indonesia kini sedang mengalami gejala serupa, di mana kekacauan domestik dan tekanan eksternal dapat dilihat sebagai strategi mempertahankan hegemoni global.

Dalam kacamata intelijen global, operasi layar gelap sering kali menyertai momen-momen krusial dalam politik luar negeri sebuah negara. Disinformasi, agitasi sosial, hingga sabotase diplomasi menjadi metode yang digunakan untuk mengganggu konsistensi suatu negara. Teori Joseph Nye tentang soft power bisa dibalik di sini: selain kekuatan lunak yang bersifat persuasi, negara hegemon juga kerap memanfaatkan sharp power---penetrasi informasi dan manipulasi politik---untuk menekan lawan.

Tragedi tewasnya Zetro Purba, diplomat muda Indonesia yang ditembak di Peru, menjadi potret betapa kerasnya pertarungan di panggung internasional. Meski pada permukaan terlihat sebagai peristiwa kriminal, dalam kacamata geopolitik dan intelijen, kematian seorang diplomat jarang sekali dianggap kebetulan. Apalagi insiden ini terjadi berdekatan dengan langkah berani Prabowo memperkuat hubungan dengan Tiongkok dan BRICS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun