Mohon tunggu...
alexanderjoe
alexanderjoe Mohon Tunggu... Siswa

halo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Bendera Harus Ikut Merangkul

8 Mei 2025   17:49 Diperbarui: 8 Mei 2025   17:49 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya pernah mikir begini: kenapa kadang nasionalisme terasa dingin? Kayak slogan yang lantang tapi kosong. Kita sering diajarin buat cinta tanah air, hormat sama bendera, hafal lagu wajib, dan bangga jadi warga negara Indonesia. Tapi di sisi lain, kita juga tumbuh di lingkungan yang gampang banget menghakimi, mengucilkan, bahkan membenci sesama warga negara sendiri---hanya karena mereka beda keyakinan, suku, atau cara hidup.

Nasionalisme, dalam bentuknya yang sejati, mestinya bukan sekadar tentang teritori dan simbol. Nasionalisme itu harusnya juga tentang rasa---rasa sayang, rasa peduli, dan rasa empati terhadap sesama anak bangsa. Kalau nasionalisme hanya soal mencintai tanah, tanpa mencintai manusia yang menginjak tanah itu, maka ia kehilangan maknanya. Di situlah humanisme seharusnya hadir: mengingatkan kita bahwa sebelum kita warga negara, kita adalah manusia.

Hari ini, kita hidup di zaman di mana informasi dan opini berseliweran di media sosial. Ironisnya, platform yang harusnya bisa mendekatkan manusia malah sering jadi ladang perpecahan. Banyak yang mengaku cinta Indonesia, tapi ringan banget melabeli orang lain sebagai "pengkhianat bangsa" cuma karena berbeda pendapat. Ada yang rajin ikut upacara dan posting bendera di hari kemerdekaan, tapi tutup mata ketika tetangganya kesulitan makan. Ini yang bikin saya bertanya-tanya: apakah nasionalisme kita masih punya hati?

Kita harus sadar bahwa nasionalisme yang kaku, yang hanya fokus pada simbol dan identitas, rawan jadi alat penindasan. Nasionalisme yang tidak dibarengi humanisme bisa berubah jadi eksklusif---hanya mengakui orang-orang tertentu sebagai bagian dari "bangsa". Padahal, Indonesia dibangun oleh keberagaman. Kita ini bukan bangsa satu warna, satu suara, satu cara hidup. Kita ini mozaik---dan mozaik hanya indah kalau semua bagiannya dihargai.

Mari kita lihat kembali sejarah. Ketika para pendiri bangsa berjuang melawan penjajah, mereka tidak memikirkan diri sendiri atau kelompoknya saja. Mereka tidak bertanya, "Apa sukunya? Apa agamanya?" sebelum saling bantu. Mereka melihat sesama pejuang sebagai manusia, sebagai saudara sebangsa yang punya hak untuk merdeka dan hidup layak. Jadi kalau sekarang kita mengaku mewarisi semangat mereka, kenapa kita malah sibuk membeda-bedakan?

Nasionalisme sejati adalah yang membuat kita tergerak ketika melihat ketidakadilan. Nasionalisme sejati tidak hanya bangga pada keindahan alam Indonesia, tapi juga sedih ketika melihat anak bangsa tinggal di rumah reyot, tidak bisa sekolah, atau diperlakukan tidak adil. Nasionalisme sejati tidak hanya soal mencintai negeri dari jauh, tapi juga soal hadir, peduli, dan bertindak bagi sesama.

Humanisme-lah yang mengingatkan kita bahwa nasionalisme harus berpihak pada manusia. Negara ini bukan cuma tentang peta dan perbatasan, tapi tentang kehidupan orang-orang di dalamnya. Tentang anak-anak yang butuh pendidikan, ibu-ibu yang butuh akses kesehatan, dan siapa pun yang mendambakan keadilan dan martabat.

Karena itu, mari kita redefinisi nasionalisme kita. Bukan nasionalisme yang marah-marah, bukan yang cuma muncul pas upacara atau pas bola timnas main. Tapi nasionalisme yang hidup setiap hari lewat sikap kita ke sesama. Lewat cara kita menghargai perbedaan, membantu yang kesulitan, dan melawan ketidakadilan---di lingkungan kita, di pekerjaan kita, dan di kehidupan sehari-hari.

Indonesia bukan cuma tempat lahir kita. Indonesia adalah orang-orang di sekitar kita. Dan kalau kita benar-benar cinta negeri ini, seharusnya kita juga cinta mereka. Sebab tanah air sejati bukan hanya tanah yang kita injak, tapi juga hati yang kita rawat bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun