Mohon tunggu...
alessandra acristie
alessandra acristie Mohon Tunggu... Jurnalis - trying my best to write something here.

i hope my writings could be useful.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kuliah From Home bareng Wakil Redaktur Harian Kompas.id

22 April 2020   12:25 Diperbarui: 22 April 2020   12:37 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Era yang semakin berkembang, membuat Kompas juga beralih ke platform digital. Kompas.id menjadi salah satu platform dengan konten yang dekat dengan kompas cetak.

Awal Mula Kompas.id 

Kira-kira sudah lebih dari sebulan lamanya kita semua melakukan segala kegiatan dari rumah, termasuk kuliah. Kuliah daring tentu tidak semenarik kuliah tatap muka seperti biasa. Namun terdapat berbagai cara untuk tetap membuat kuliah ini tetap menarik. Salah satunya adalah melalui videocall dengan mengundang pembicara seperti yang kami lakukan kali ini.

dokpri
dokpri
Pertemuan Produksi Multimedia kami kali ini bersama dengan Haryo Damardono. Beliau merupakan Wakil Redaktur Harian Kompas dan secara khusus bergerak di Kompas.id juga.

Kompas merupakan salah satu media di Indonesia yang telah lama berdiri. Kompas berdiri sejak tahun 1965 mulai dari media cetak/ koran hingga memiliki platform digital sekarang. Platform tersebut adalah Kompas.com dan Kompas.id. Lalu apa sebenarnya yang membedakan kedua platform digital kompas tersebut?

Kompas.id adalah platform digital milik Kompas yang digarap langsung oleh wartawan dari Harian Kompas. Sedangkan Kompas.com dikerjakan oleh tim yang berbeda. Dengan demikian, Kompas.id kontennya lebih dekat dengan Harian Kompas.

Mengapa harus ada Kompas.id setelah Kompas.com? dikarenakan tim yang mengerjakan kedua platform ini sudah berbeda, Kompas ingin tetap ada platform digital yang tetap dekat dengan Harian Kompas sendiri. Selain itu, dilihat dari sisi bisnis sendiri kompas sudah tidak bisa lagi mendapatkan pemasukan dari iklan. Terdapat sekiranya kurang lebih 40.000 media online di Indonesia.

Jurnalisme tentu membutuhkan modal dan kita bisa mendapatkannya dengan dua cara yaitu, subscriber dan iklan. Namun untuk mendapatkan iklan yang banyak tentu kita perlu mengakalinya dengan judul yang cllickbyte. Tetapi kita ingin tetap mengutamakan kualitas tulisan itulah sebabnya kita menggunakan cara kedua yang juga digunakan oleh New York Times. New York Times mendapatkan pemasukan dari pembaca onlinenya atau subscriber mereka.

Itulah awal mula Kompas.id dirintis di tahun 2017 lalu secara diam-diam. Diam-diam di sini dalam artian bahwa mereka (wartawan Harian Kompas) sendiri yang mulai merintis didasarkan atas pertimbangan dari sisi bisnis. 

Proses Transisi ke Platform Digital

Dalam peralihannya menjadi ke digital, tentu dilakukan dengan susah payah dan di sini Haryo menggunakan kata 'berdarah-darah'. Maksudnya di sini adalah tidak mudah bagi mereka yang harus membiasakan diri dengan semua yang serba digital.

Hal ini dirasakan oleh Pak Haryo sendiri. Ia telah bergabung di Kompas saat mengetik berita masih menggunakan mesin tik. Terbayang bukan selama apa beliau berkutat dalam dunia jurnalisme di bawah naungan Kompas ini?

dok. Kompas Gramedia
dok. Kompas Gramedia
Pak Haryo mulai mengingat kembali ke masa-masa itu. Ia mengaku bahwa ketika ia melakukan liputan di Kalimantan pada tahun 2005, sinyal modem yang dibawanya tidak kuat untuk mengirimkan hasil liputannya ke Jakarta.

Selain itu, ia juga kesulitan ketika liputan tsunami Aceh 2004 silam. Alhasil, Kompas mem-booking satu bilik warnet seharian untuk mengirimkan hasil liputannya.

"Saat itu kami harus mem-booking satu bilik warnet seharian biar tidak perlu mengantri lagi ketika hendak mengirimkan berita ke Jakarta tadi. Itulah tantangannya pada  era itu." kata Pak Haryo.

Namun dalam perjalanannya tadi, ia harus membiasakan diri dengan digital. Salah satu keputusan yang diambilnya adalah dengan kembali mengikuti kelas fotografi.

Hal ini dikarenakan untuk menjadi wartawan di platform digital tentu diperlukan keahlian dalma menulis berita, mengambil foto dan video juga melakukan live report. Berbeda di era Media Cetak yang mana hanya keahlian menulis yang dibutuhkan wartawan.

Bagaimanapun juga, tetap ada yang dapat disyukuri dari setiap kejadiannya. Di era yang serba canggih ini juga memudahkan wartawan untuk mengirim berita dari lokasi liputan. Didukung dengan gadget yang semakin mudah dibawa dan juga jangkauan sinyal yang jauh lebih baik dan sudah mulai masuk ke pelosok-pelosok.

Konsep 3M Kompas

Tentu kita sering mendengar konsep 3M yang digagas oleh Kompas yaitu, Multimedia, Multichannel dan Multiplatform. Sebenarnya konsep ini telah diterapkan sejak dahulu ketika menyadari internet itu mulai ada dan masuk ke Indonesia.

3M ini pada awalnya dimaksudkan dengan Kompas yang tak hanya berbentuk cetak, namun juga ada intisari, radio dan kompas.com yang sebenarnya sudah berdiri sejak tahun 1995. Namun Kompas.com sendiri tidak dilanjuti karena masyarakat Indonesia masih menggunakan Koran sebagai sumber informasi di era itu.

dok. Kompas Gramedia
dok. Kompas Gramedia
Seiring berkembangnya zaman, 3M yang dimaksud sudah lebih berbeda. 3M di sini diarahkan ke sumber daya yang dimiliki Kompas itu sendiri harus memenuhi 3M yang berarti harus serba bisa dan juga lebih tanggap.

Sebelum adanya platform digital, ketika wartawan sudah mendapatkan berita, mereka masih memiliki waktu untuk mengendapkan berita tadi sembari mencari sumber-sumber lainnya. Misalnya dengan mencari narasumber lain.

Namun berbeda dengan sekarang, ketika paginya wartawan mendapatkan berita, siangnya berita tersebut sudah harus jadi dan terbit.

Walaupun demikian, Kompas tetap mengutamakan berita yang mendidik dan memberi solusi, bukan mencari sensasi. Menurut beliau, jika ingin menerapkan sistem subscribe tadi untuk pendapatan, maka kita harus diimbangi dengan konten berita yang berkualitas pula. 

Bagaimana Usaha Kompas.id untuk Menjadi Seperti NewYorkTimes?

Tantangan terbesar yang Kompas.id hadapi adalah dari sumber daya manusianya itu sendiri. Kompas.id ingin memiliki konten yang bervariasi seperti New York Times, namun waktu penulisannya juga pasti harus lebih lama.

New York Times mengedepankan kualitas penulisan, itulah sebabnya mereka memiliki kurang lebih 1600 wartawan. Setiap wartawan hanya boleh menghasilkan satu berita yang benar-benar berkualitas dan merupakan hasil endapan pula.Saat ini Kompas baru memiliki 250 wartawan, itulah sebabnya mereka belum bisa benar-benar menerapkan sistem seperti di New York Times.

Disaat ada wartawan di Indonesia yang diminta untuk membuat satu hingga sepuluh berita perhari, Kompas mengambil jalan tengah. Setiap wartawan Kompas hanya boleh mengahasilkan satu hingga dua berita per-harinya.

Jika mereka memiliki waktu luang setelah membuat dua berita, mereka diminta untuk menggodok kembali hasil berita tersebut.

Kompas.id telah hadir sebagai platform digital pelengkap Harian Kompas. Dengan konten yang semakin diasah kualitasnya, semoga Kompas.id tetap menjadi sumber berita digital terpercaya dan faktual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun