Dalam dunia yang semakin maju, maka salah satu dampaknya adalah terjadi ketimpangan ekonomi. Dalam konteks demikian, banyak orang pergi mencari pekerjaan ke daerah atau negara lain, yang sering tidak sesuai aturan sehingga jatuh ke dalam persoalan perdagangan orang. Persoalan ini yang menjadi sorotan berbagai media dan aktifis LSM yang berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini adalah masalah Trafficking. Bayangkanlah ada pameo yang akrab ditelinga kita yaitu para TKI ini kita diberi gelar "Pahlawan devisa". Itulah julukan yang diberikan kepada para TKI (W) kita. Dan memang tidak dapat kita pungkiri bahwa begitu banyak dana (uang) masuk ke Indonesia sebagai hasilkerja para TKI (W) kita di luar negeri. Banyak rumah dan berbagai bangunan yang dapat kita saksikan diberbagai daerah dan pedalam di Indonesia merupakan hasil kerja keras dari warganya yang bekerja di luar negeri yang umumnya pada sektor non formal.
Mereka berangkat bekerja ke luar negeri karena masalah lapangan pekerjaan dalam negeri yang kurang menjanjikan, sedangkan di luar negeri jauh lebih menjanjikan. Maka sejak puluhan tahun lalu, merupakan salah satu pemicu orang pergi ke luar kampung atau daerahnya untuk mencari lapangan pekerjaan lain di negeri atau daerah lain yang lebih menjanjikan. Dan salah satu persoalan yang perlu diwaspadai dari mereka yang pergi keluar dari kampung halamannya mencari pekerjaan adalah masalah perdagangan orang (PO) atau istilahnya Trafficking.
Pengertian Trafficking menurut UU 21/2007 Pengertian Trafiking Terhadap Manusia dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, Â pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Trafficking tidak hanya merampas hak asasi, tapi juga membuat 'tenaga kerja' Â rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma dan bahkan kematian. Pelaku trafficking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan untuk menjerumuskan korban ke dalam pekerjaan mirip perbudakan atau ke dalam prostitusi. Korban menghadapi penyiksaan, kekejaman, kerja paksa, pemerasan dan eksploitasi. Akibat dari itu semua, banyak tenaga kerja di luar negeri yang hanya menerima sedikit gaji atau tidak sama sekali sebagai bayaran pekerjaan mereka dan dipaksa terus bekerja yang melebihi ketentuan jam kerja bahkan seringkali tanpa istirahat. Tiap kasus yang dialami unik. Masing-masing memiliki pengalaman berbeda dan beberapa dari mereka mungkin tidak akan pernah pulih betul dari siksaan yang mereka derita.
Hal ini disampaikan oleh Aleksander Mangoting, pada hari Rabu 11 Maret 2014 dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional yang dilaksanakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Nasional Toraja (AMA Toraja) bekerjasama dengan Gabungan Organisasi Wanita se Toraja Utara dan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Toraja Utara dihadiri utusan dari organisasi Wanita yang ada di Toraja Utara sekitar 60 orang.
 Lebih jauh diungkapkan oleh Mangoting bahwa dalam praktiknya di lapangan banyak calo TKI yang berkeliaran atau memakai jaringan sampai ke kampung-kampung untuk merekrut calon TKI. Para calo merekrut calon TKI, menempatkan TKI tanpa melalui prosedur yang benar sesuai ketentuan yang ada berdasarkan UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri perlu diberi sangsi tegas, mulai dari sangsi kurungan penjara sampai kepada sangsi penutupan usaha. Modus operandi kejahatan yang biasa mereka lakukan adalah melakukan perekrutan TKI tanpa adanya job order dari pihak pengguna (perusahaan) di Malaysia atau menggunakan job order aspal (asli tapi palsu). Mereka memakai orang-orang berpengaruh atau tokoh masyarakat untuk merekrut calon TKI. Selain itu mereka juga kerap memalsukan identitas calon TKI seperti nama, alamat dan usia. Tidak jarang mereka menaikkan usia calon TKI dari 18 tahun, usia yang sebenarnya belum diperbolehkan bekerja di Malaysia, menjadi 22 tahun. Para pelaku perdagangan orang juga umumnya tidak memberikan pelatihan bagi calon TKI dan tidak memberikan kontrak kerja atau menyuruh calon TKI menandatangani kontrak kerja yang mereka tidak pahami isinya. Para pelaku juga tidak pernah menginformasikan secara jelas kepada calon TKI tentang berapa biaya resmi yang harus mereka bayar untuk dapat bekerja di Malaysia. Para calon TKI hanya dijanjikan kemudahan untuk dapat membayar sesampainya di tujuan dengan cara potong gaji setelah mereka mendapatkan pekerjaan di Malaysia. Cara ini mengakibatkan TKI mengalami jeratan hutang, mereka dipaksa untuk bekerja dalam waktu yang panjang, tidak pernah menerima gaji atau gaji dipotong diluar ketentuan, hanya untuk melunasi hutang. Jadi para calo dengan seenaknya memotong gaji dengan jumlah sesuai keinginan mereka sendiri tanpa sepengetahuan dan persetujuan para TKI.  Yang penting mereka dijanjikan pekerjaan di luar negeri yang sangat menjanjikan. Hal ini merpukaan pengalaman langsung ketika menangani
Calo Nakal. Untuk mencari calon TKI, menempatkan TKI tanpa melalui prosedur yang benar sesuai ketentuan yang ada berdasarkan UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri perlu diberi sangsi tegas, mulai dari sangsi kurungan penjara sampai kepada sangsi penutupan usaha. Modus operandi kejahatan yang biasa mereka lakukan adalah melakukan perekrutan TKI tanpa adanya job order dari pihak pengguna (perusahaan) di Malaysia atau menggunakan job order aspal (asli tapi palsu). Mereka memakai orang-orang berpengaruh atau tokoh masyarakat untuk merekrut calon TKI. Selain itu mereka juga kerap memalsukan identitas calon TKI seperti nama, alamat dan usia. Tidak jarang mereka menaikkan usia calon TKI dari 18 tahun, usia yang sebenarnya belum diperbolehkan bekerja di Malaysia, menjadi 22 tahun. Para pelaku perdagangan orang juga umumnya tidak memberikan pelatihan bagi calon TKI dan tidak memberikan kontrak kerja atau menyuruh calon TKI menandatangani kontrak kerja yang mereka tidak pahami isinya. Para pelaku juga tidak pernah menginformasikan secara jelas kepada calon TKI tentang berapa biaya resmi yang harus mereka bayar untuk dapat bekerja di Malaysia. Para calon TKI hanya dijanjikan kemudahan untuk dapat membayar sesampainya di tujuan dengan cara potong gaji setelah mereka mendapatkan pekerjaan di Malaysia. Cara ini mengakibatkan TKI mengalami jeratan hutang, mereka dipaksa untuk bekerja dalam waktu yang panjang, tidak pernah menerima gaji atau gaji dipotong diluar ketentuan, hanya untuk melunasi hutang. Jadi para calo dengan seenaknya memotong gaji dengan jumlah sesuai keinginan mereka sendiri tanpa sepengetahuan dan persetujuan para TKI. Hal ini sebagai pengalaman langsung dilapangan ketika melaksanakan kampanye anti perdangangan Orang sebagai Program Manajer, kerjasama International Catholic Migration Commision (ICMC) dan Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Toraja ( BPMS-GT) untuk mengatasi masalah Perdangan Orang Indonesia-Malaysia khususnya yang berasal dari Toraja pada tahun 2009-2011 bahkan hingga sekarang masih banyak menangani langsung kasus-kasus di lapangan mengenai perdagangan orang.
Untuk itu, maka disarankan untuk perlu koordinasi. Hal yang dapat dilakukan di dalam negeri adalah mengoptimalkan koordinasi antar lembaga pemerintah dan non pemerintah khususnya di level propinsi dan kabupaten untuk mencegah dan memberikan layanan bagi korban perdagangan orang. Untuk itu, Gugus Tugas Penanggulangan Perdagangan Orang di tingkat propinsi dan kabupaten serta alokasi APBD untuk kerja-kerja anti perdagangan orang, seperti yang telah diamanatkan UU No.21/2007 tentang PTPPO perlu segera dibentuk dan dialokasikan. Gugus Tugas adalah lembaga koordinatif yang beranggotakan dinas pemerintah terkait, aparat penegak hukum, lembaga swadaya masyarakat serta organisasi profesi. Gugus tugas ini dibentuk agar tidak terjadi saling lempar bola dan tanggung jawab antar instansi dalam melakukan upaya kampanye pencegahan dan pemberian layanan bagi korban. Alokasi anggaran APBD di tingkat kabupaten/kota juga sangat diperlukan untuk menjamin keberlanjutan/sustainability upaya pemberantasan perdagangan orang di masa depan. Dalam mewujudkan Gugus Tugas ini, maka peran aktif dari instansi yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan di tingkat provinsi dan kabupaten kota sangat diharapkan. Jadi UU No. 21/2007 perlu dijabarkan di Kabupaten dan membentuk gugus tugas dalam kerangka melaksanakan aksi di lapangan
Issu lain, Issue lain yang juga penting untuk dibicarakan adalah kerjasama diantara kepolisian kedua negara sebagai upaya investigasi bersama untuk menangkap dan menghukum pelaku, terutama agen Malaysia dan majikan yang kejam. Persoalan kejahatan perdagangan orang lintas negara membutuhkan upaya kerjasama aparat penegak hukum kedua negara. Ini terkait dengan kebutuhan untuk mendapatkan keterangan dari saksi korban, pelaku dan juga barang bukti yang terdapat di Indonesia maupun di Malaysia. Pihak Kepolisian Indonesia di perbatasan menturkan bahwa tempat kejadian perkara tindak pidana perdagangan orang banyak terjadi di Malaysia, sehingga untuk menuntut pelaku yang ada di Indonesia, mereka juga membutuhkan informasi dari saksi dan juga alat bukti yang terkadang hanya tersedia di Malaysia. Peran dari LO (liason officer) Kepolisian Indonesia yang ditugaskan di Malaysia juga bisa dimanfaatkan secara optimal sebagai jembatan untuk mengusut kejahatan kemanusiaan ini bekerjasama dengan pihak Kepolisian Diraja Malaysia. Agar proses investigasi kepolisian kedua negara di lapangan bisa berjalan dengan cepat, dan pelaku bisa segera ditangkap maka birokrasi di tingkat kepolisian kedua negara juga perlu di perpendek. Petugas kepolisian yang bertugas langsung di perbatasan mengeluh bahwa terkadang karena proses birokrasi yang panjang, pelaku bisa melarikan diri dengan cepat.
Apa yang harus kita buat?. Selaku lembaga keagamaan, maka kita semua, sepatutnyalah mengambil langkah-langkah strategis dan rill untuk turut serta mengatasi masalah perdagangan manusia sebagai sebuah persoalan bersama dalam bingkai kemanusiaan. Gereja-gereja dan lembagaan-lembvaga pelayanan Kristen di Indonesia perlu membuka mata dan menjadikan persoalan ini sebagai persoalan yang mesti kerjakan secara bersama pula.