Jakarta -- Putri bungsu musisi Ahmad Dhani, Safeea Ahmad, kembali menjadi sorotan setelah santer diberitakan mengalami bullying di lingkungan sekolah. Dugaan perundungan tersebut disebut-sebut berkaitan dengan status ibu sambungnya, Mulan Jameela, yang selama ini kerap dicap publik dengan istilah kontroversial "pelakor" (perebut laki orang).
Menanggapi situasi ini, psikiater Mintarsih memberikan pandangan mendalam mengenai dampak psikologis yang mungkin dialami oleh anak-anak dari keluarga yang dikaitkan dengan stigma sosial.
"Karena kita bayangkan ya, seorang anak pelakor---apa pelakornya dulu? Pelakor itu tidak akan menjadi pelakor jika tidak mempunyai kepandaian, termasuk kepandaian berbicara. Dan mereka siap menghadapi semua tantangan, termasuk dari masyarakat dan keluarga," ungkap Mintarsih.
Menurutnya, anak seperti Safeea yang tumbuh bersama ibu yang dipersepsikan negatif oleh sebagian masyarakat, bisa mengalami tekanan mental yang signifikan. "Anaknya itu cukup sering juga berbicara dengan ibunya, dan sudah siap menghadapi ejekan. Bisa jadi dia mirip ibunya---berani melawan, atau justru menjadi pendiam karena tertekan," jelasnya.
Mintarsih menambahkan bahwa dalam kasus seperti ini, anak sering kali berada dalam dilema antara mempertahankan harga diri dan tekanan sosial. "Anak-anak usia remaja biasanya mulai bisa mengambil keputusan untuk menjawab atau menanggapi ejekan. Tapi apakah itu murni dari dirinya, atau ada bisikan dari orang tua, itu menjadi pertanyaan," katanya.
Lebih jauh, ia menyoroti peran orang tua---baik ibu kandung maupun ibu sambung---dalam membentuk daya tahan mental anak. "Tergantung ibunya, apakah dia mempersiapkan anaknya untuk menghadapi realita sosial atau tidak. Kalau ibunya siap, biasanya anaknya juga akan ikut tangguh," ujarnya.
Terkait keterlibatan Mulan Jameela dalam kehidupan publik Safeea, Mintarsih melihat hal itu tak lepas dari dinamika rumah tangga. "Kalau seseorang sudah menikah, dia juga dipengaruhi oleh suaminya. Bisa saja keputusan untuk tampil atau tidak itu adalah hasil kompromi. Bukan berarti salah satu lebih dominan, tapi itu dinamika keluarga," katanya.
Mintarsih mengingatkan bahwa stigma sosial semacam ini tidak hanya berdampak pada individu, tapi juga dapat membentuk pola pikir generasi berikutnya. "Kalau dari kecil anak melihat bahwa menjadi pelakor itu hal biasa karena banyak ditampilkan di media dan lingkungan sosial, maka ke depannya bisa saja mereka mentolerir hal-hal serupa," ungkapnya.
Sebagai penutup, ia menyarankan agar masyarakat lebih bijak dalam memberi label, khususnya kepada anak-anak. "Bullying berbasis stigma seperti ini bisa merusak masa depan anak. Anak tidak bisa memilih bagaimana orang tuanya dulu, tapi kita sebagai masyarakat bisa memilih untuk tidak menambah beban mental mereka," tegas Mintarsih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI