Jakarta -- Kisruh antara musisi Yoni Dores dan penyanyi dangdut Lesti Kejora kini masuk ke ranah hukum setelah Yoni Dores melaporkan Lesti ke Polda Metro Jaya terkait dugaan pelanggaran hak cipta. Laporan ini muncul setelah Yoni mengklaim telah tiga kali mendatangi rumah Lesti dan melayangkan somasi tanpa tanggapan.
Menanggapi hal ini, praktisi hukum sekaligus pengacara dan dosen UNMA: Universitas Mathlaul Anwar, Dr. H. Firman Candra, S.E., S.H., M.H., menyarankan agar persoalan ini sebaiknya diselesaikan melalui jalur mediasi, bukan litigasi panjang yang bisa menguras energi dan waktu.
"Sebuah laporan polisi di sistem hukum kita (Eropa Kontinental) biasanya dilakukan setelah adanya upaya seperti somasi, undangan, atau mediasi. Kalau somasi dijawab, harusnya tak perlu sampai LP. Tapi kalau tidak dijawab, baru bisa masuk proses litigasi," ujar Firman Candra.
Menurutnya, kasus ini seharusnya bisa diselesaikan lebih dulu lewat jalur musyawarah. "Kalau memang sudah LP, maka akan diproses oleh penyidik. Tapi idealnya, kedua belah pihak duduk bersama untuk mediasi dan mencari titik temu. Apakah hanya cuan yang diinginkan atau ada hal lain yang bisa dijadikan nilai damai," tambahnya.
Firman juga menyoroti pentingnya memahami konteks hak cipta dan mekanisme distribusi royalti di Indonesia. Menurutnya, jika memang ada dugaan pelanggaran, semestinya terlebih dahulu dibahas melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang bertugas mengatur dan mendistribusikan royalti. Namun ia juga menyadari tidak semua pencipta lagu mendaftarkan karyanya ke LMK.
"Kalau lagunya memang menghasilkan cuan, misalnya lewat monetisasi YouTube, baru bisa dibicarakan secara hukum. Tapi kalau tidak ada keuntungan, apa yang mau digugat?" katanya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa langkah Yoni Dores yang melaporkan langsung Lesti Kejora mungkin terlalu cepat, apalagi jika Lesti hanya menyanyikan lagu tersebut di acara televisi. "Yang seharusnya dilaporkan adalah akun-akun yang mengunggah dan memonetisasi video tersebut, bukan Lesti secara langsung," ujarnya.
Firman juga mengingatkan bahwa proses hukum ini tidaklah singkat. "Kalau naik ke penyidikan, bisa panjang. Ada gelar perkara, saksi, ahli, hingga ke pengadilan. Bahkan bisa sampai kasasi atau peninjauan kembali. Bisa makan waktu bertahun-tahun."
Di akhir wawancara, ia menegaskan bahwa damai adalah solusi terbaik. "Lebih baik bertemu, bikin akta perdamaian, dan bawa ke penyidik agar bisa SP3. Jangan tambah polemik baru dengan laporan-laporan lain, seperti pencemaran nama baik atau pelanggaran UU ITE. Selesaikan secara kekeluargaan, seperti budaya timur kita," tutupnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI