Mohon tunggu...
Aldo Tona Oscar Septian
Aldo Tona Oscar Septian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Nama saya Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak. Saat ini saya menempuh pendidikan S1 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Hobi saya yaitu membaca buku dan menulis. Saya mendedikasikan hidup untuk melawan seksisme, rasisme, dan fanatisme. Ayo Follow Instagram : @aldotonaoscar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Problematika Perlindungan Hak Politik Perempuan di Negara Berkembang

27 April 2024   23:55 Diperbarui: 28 April 2024   23:30 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Problematika Perlindungan Hak Politik Perempuan di Negara Berkembang (Sumber Gambar: suluhperempuan.org)

Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan di perpolitikan pada saat sekarang ini belum dapat terlepas dari pandangan sebagian besar masyarakat di negara berkembang. Adanya perbedaan suatu pola pikir yang substansial antara negara yang relatif belum maju dibandingkan dengan negara maju. Masyarakat di negara berkembang umumnya menganggap urgensi keterwakilan perempuan dalam diskusi publik maupun perpolitikan tidak dianggap penting ketimbang mengurus rumah tangga dikarenakan budaya patriarki masih sangat mengakar dan faktor agama juga menjadi pertimbangan.

Perempuan cenderung tidak memiliki status dalam masyarakat dikarenakan kesadaran adanya pemisahan dunia publik dan domestik bagi perempuan sehingga keberanian seorang perempuan dalam terjun ke dunia politik disesuaikan dengan pandangan masyarakat sekitarnya. Di negara berkembang, umumnya perempuan tidak memiliki akses seperti laki-laki dalam dunia politik dan perempuan juga tidak memiliki hak atas milik di domestik sehingga dengan pandangan tersebut menjadikan keberadaan perempuan selalu dinomorduakan setelah laki-laki, yang mana laki-laki selalu dapat meraih kekuasaan atas suatu institusi publik dan juga dapat menjadi kepala keluarga.

Dibandingkan dengan negara maju, kebebasan dan pengakuan atas partisipasi perempuan dalam publik sangat bebas dan budaya patriarki tidak lagi dianggap sebagai suatu kebutuhan publik dalam pengambilan keputusan di politik. Negara maju cenderung memiliki institusi struktural kekuasaan yang tinggi dan dipatuhi oleh rakyatnya sehingga masyarakat cenderung fokus patuh akan aturan dan lebih memilih bagaimana menghasilkan suatu program kebijakan dan kemajuan perekonomian untuk stabilisasi pendapatan mereka. Penerapan sistem yang cenderung kapitalis membuat pemikiran baru bahwa kebebasan perempuan dalam ikut serta di segala sisi kehidupan termasuk dalam perpolitikan menjadi hal positif dan menguntungkan bagi perempuan.

Diskriminasi terhadap kehadiran perempuan dalam ranah publik di negara maju cenderung tidak terlihat sebab kebudayaan patriarki yang telah hilang di negara maju membuat pemikiran masyarakat dapat selangkah lebih maju ketimbang negara berkembang. Di sisi lain, sistem pendidikan yang juga maju di negara barat juga mempengaruhi pemikiran perempuan untuk lebih dapat mengeksplorasikan pemikirannya di ranah publik ketimbang tidak memanfaatkan pendidikan yang telah ia dapatkan dengan susah payah. Hal ini tentunya berbeda dengan negara berkembang yang memiliki pandangan sejauh apapun perempuan melanjutkan pendidikannya, pada akhirnya tetap akan kembali ke dapur dan kasur sehingga kepercayaan diri perempuan di negara berkembang tidak sama dengan negara maju yang cenderung lebih dihargai pencapaiannya sehingga berpengaruh terhadap rasa semangat bagi seorang perempuan.

Dari pandangan-pandangan yang lahir di negara maju dan negara berkembang tentu juga dipengaruhi oleh tindakan pemerintahan yang juga peduli dengan kesetaraan gender di ranah publik. Negara berkembang cenderung lebih meningkatkan upaya dalam menghadirkan konstitusi yang melindungi hak perempuan di ranah publik dan politik agar suatu kebijakan dapat juga merepresentasikan kebutuhan perempuan yang tentunya berbeda dengan kebutuhan laki-laki. Selain itu upaya pemerintah untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam perpolitikan adalah dengan menghadirkan affirmative action, yang mana upaya ini dapat berupa memberi kapasitas khusus kepada perempuan untuk mengisi partisipasinya dalam pemerintahan, seperti yang diterapkan di Indonesia yaitu kebijakan yang memberi kesempatan pada perempuan untuk duduk di kursi legislatif dengan kuota minimal 30%. Tentunya dengan upaya ini dapat memberikan kepercayaan diri seorang perempuan yang berada di negara yang masih menganut sistem patriarki agar dapat memiliki akses berada dalam sebuah lingkaran pengambilan keputusan.

Meskipun upaya peningkatan partisipasi dan representasi perempuan dalam politik di negara berkembang belum bisa dipisahkan dari konstitusi yang baru disahkan, akan tetapi hal ini dapat menjadi suatu langkah untuk dapat mewujudkan kesetaraan gender di ranah publik. Ketimbang dengan negara maju yang umumnya kesetaraan gender mulai terlihat disebabkan oleh sistem pendidikan dan perekonomian yang lebih maju, kesetaraan gender mereka cenderung atas dasar kesadaran dari perempuan itu sendiri di negara maju dikarenakan penerapan sistem kapitalis sehingga kehadiran perempuan di ranah publik tidak perlu tergantung oleh perlindungan konstitusi. Perempuan di negara maju dapat lebih leluasa memanfaatkan keahliannya dari pendidikan mumpuni yang didapatkan selama di perguruan tinggi. Tentunya hal ini menjadi perbedaan pandangan masyarakat dan upaya pemerintah dalam mensejajarkan partisipasi antara perempuan dan laki-laki terhadap suatu kebijakan publik.

Pada dasarnya baik itu di negara maju maupun di negara berkembang tetap memiliki tujuan agar menerima perbedaan antara kesetaraan hak pilih perempuan dan laki-laki dalam politik dapat terwujud. Akan tetapi tentunya tidak mudah bagi negara berkembang dapat mengubah persepsi masyarakat seperti negara maju agar lebih mengedepankan urgensi tujuan bersama dari implementasi kebijakan dengan melibatkan hasil dari tuntutan baik itu laki-laki maupun perempuan dalam suatu kebijakan. Tentunya perempuan juga membutuhkan kebijakan yang juga memperhatikan keadaan mereka dari suatu peraturan, seperti pemberian izin cuti dalam bekerja setelah melahirkan dan masih banyak keperluan lainnya yang memiliki perbedaan kebutuhan antara laki-laki maupun perempuan. Dalam mencapai hal ini maka diperlukan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan agar kebijakan yang general bagi masyarakat juga mempertimbangkan sisi kebutuhan perempuan yang tidak bisa disepelekan.

Pandangan masyarakat baik itu di negara maju maupun di negara berkembang sama-sama memiliki pandangan dari dua sisi yang berbeda. Di satu sisi terdapat anggapan dalam hal asumsi sosial yaitu perempuan dianggap lemah sehingga perlunya affirmative action untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ranah publik dan umumnya fenomena ini terdapat di negara berkembang, sedangkan di sisi lain terdapat anggapan bahwa perempuan juga sama kuatnya dengan laki-laki sehingga perempuan dengan kesadarannya dapat mewujudkan mimpinya dalam terjun ke perpolitikan sebagai representasi perempuan di ranah publik, yang tentunya anggapan ini cenderung lebih diterapkan di negara maju walaupun di negara berkembang juga mulai menyadari pandangan ini.

Dapat diketahui dari tujuan menghadirkan perempuan di ranah publik khususnya dalam perpolitikan pada dasarnya adalah untuk menghindarkan adanya perlakuan berbeda terhadap orang-orang dalam suatu situasi yang melibatkan perempuan. Baik itu negara maju maupun negara berkembang sama-sama memiliki tujuan yang sama agar kesetaraan gender dapat terwujud dan juga menghindari diskriminasi. Emansipasi wanita yang diupayakan oleh perempuan di seluruh dunia bukan berarti untuk lebih meningkatkan status perempuan dan merendahkan martabat laki-laki, akan tetapi adalah untuk mengupayakan hadirnya kesetaraan gender di ranah publik agar kebutuhan perempuan dalam suatu kebijakan publik dapat direpresentasikan melalui keterwakilan perempuan. Sejatinya hak semua orang itu sama di depan hukum maupun publik, tidak peduli itu perempuan ataupun laki-laki karena kebebasan dalam berpendapat adalah untuk mewujudkan tujuan yang sama, yaitu keadilan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun