Di tengah-tengah krisis ketenagakerjaan yang belum tertangani, Indonesia berada di antara dua sisi sejarah: menguntungkan dari peningkatan usia produktif atau terjebak dalam keduanya. Â Kemajuan ekonomi seharusnya didorong oleh fenomena bonus demografi, di mana lebih dari 70% populasi berada dalam usia produktif. Â Namun, angka pengangguran mencapai 7,28 juta orang pada Februari 2025, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2025). Â Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa baru yang belum masuk ke pasar kerja.
Kondisi ini bukan hanya masalah statistik. Â Ia menunjukkan kelemahan sistem pendidikan, kurangnya kerja sama pemerintah-bisnis, dan kurangnya inovasi untuk menciptakan peluang kerja baru. Â Pengangguran struktural dapat berkembang menjadi masalah sosial jangka panjang seperti kemiskinan, kriminalitas, dan disintegrasi sosial jika dibiarkan. Â Bonus demografi, yang seharusnya merupakan keuntungan, dapat berubah menjadi kutukan sejarah.
Pengangguran di Indonesia tidak disebabkan oleh satu atau dua faktor, melainkan masalah sistemik yang saling terkait. Enam masalah utama menurut analisis kami, adalah kualitas manusia, kelemahan kebijakan, tekanan dari luar, kondisi dunia kerja internal, hubungan industrial, dan sistem penempatan tenaga kerja.
Dari sudut pandang manusia, ketimpangan keterampilan adalah masalah utama. Dunia pendidikan dipengaruhi oleh kebutuhan industri. Â Banyak lulusan sarjana menghadapi pasar kerja digital dan otomatisasi. Â Keterampilan soft skills, digital, dan teknik masih mahal di tengah banyaknya lulusan baru. Â Seringkali, tenaga kerja asing diundang untuk mengisi pekerjaan yang tidak dapat dipenuhi oleh tenaga kerja lokal.
Dari sudut pandang kebijakan, kurangnya pengawasan standar ketenagakerjaan menyebabkan ketidakadilan struktural. Â Tidak ada lagi daya tawar bagi serikat pekerja, upah minimum tidak memenuhi kebutuhan hidup yang layak, dan pengupahan seringkali tidak jelas. seringkali, pemerintah mengorbankan kepentingan investor dengan mengorbankan perlindungan tenaga kerja demi kelancaran usaha daripada melindungi tenaga kerja.
Hal-hal yang datang dari luar, seperti pandemi dan disrupsi digital, juga mengurangi peluang pekerjaan. Â Peran manusia diganti oleh otomatisasi. Â Banyak pekerjaan hilang, sementara muncul banyak pekerjaan baru. Â Dengan globalisasi yang menuntut fleksibilitas dan daya saing, sistem pekerjaan kita masih terlalu kuno.
Situasi internal di tempat kerja juga tidak mendukung pekerja muda. Â Anak muda sulit bertahan dalam pekerjaan formal karena lingkungan kerja yang kaku, sistem birokratis, dan kurangnya fleksibilitas waktu. Selain itu, jumlah pekerja informal yang terus meningkat tidak memiliki jaminan sosial.
Sistem penempatan tenaga kerja masih bergantung pada logika administratif daripada kebutuhan pasar. Layanan ini tidak bergantung pada data keterampilan, hanya menghubungkan perusahaan dan pencari kerja tanpa proses penyelarasan yang cukup.
Semua ini memiliki dampak yang signifikan. Â Jumlah pengangguran yang meningkat meningkatkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Â Stabilitas makro terancam ketika produktivitas menurun dan beban ekonomi negara meningkat. Â Yang lebih mencemaskan adalah munculnya frustrasi kolektif, terutama di kalangan generasi muda. Â Setelah kehilangan harapan, mereka memilih jalan yang paling ekstrim: menjadi ekstrimis, meninggalkan negara, atau terjebak dalam lingkaran kerja informal yang tidak manusiawi.
Indonesia sedang menghadapi bahaya kehilangan generasi emasnya. Â Jika tidak diantisipasi dengan kebijakan yang tepat, bonus demografi hanya akan menambah jumlah orang yang tidak memiliki nilai ekonomi. Â Ini bukan hanya masalah ketenagakerjaan; itu adalah masalah masa depan negara.
Situasi ini tidak bisa ditangani dengan kebijakan tambal sulam. Dibutuhkan keberanian untuk melakukan lompatan kebijakan jangka panjang. Berikut beberapa langkah strategis yang mendesak dilakukan:
- Perluasan akses pelatihan berbasis kompetensi melalui Balai Latihan Kerja (BLK), Kartu Prakerja, dan vokasi daerah. Fokus pelatihan harus diarahkan pada keahlian digital, teknikal, green jobs, serta soft skills yang dibutuhkan di masa depan. Pemerintah perlu menjalin kemitraan dengan sektor swasta agar pelatihan yang diberikan relevan dengan kebutuhan lapangan.
- Memperkuat keterkaitan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, Link and match bukan lagi slogan kosong. Kurikulum pendidikan perlu direvisi secara menyeluruh agar mencerminkan realitas industri. Program magang, kerja praktik, dan sertifikasi profesi harus menjadi bagian wajib dari sistem pendidikan nasional.
- Memperbaiki ekosistem investasi dengan memastikan perizinan yang mudah namun tetap transparan dan antikorupsi, Iklim usaha yang bersih akan menciptakan peluang kerja yang lebih luas. Namun pertumbuhan investasi harus dibarengi dengan perlindungan pekerja yang kuat.
- Penguatan fungsi pengawasan ketenagakerjaan, Pengawas tenaga kerja harus diberi kewenangan dan kapasitas yang cukup untuk memastikan norma ketenagakerjaan dijalankan. Serikat pekerja juga perlu direvitalisasi agar lebih responsif terhadap aspirasi generasi muda.
- Reformasi internal birokrasi ketenagakerjaan, Kebijakan yang tak lagi relevan harus dicabut. Layanan ketenagakerjaan harus berbasis data, integritas, dan inklusif.