Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Peringatan HBII, Bagaimana Mencegah Kepunahan Bahasa Daerah?

21 Februari 2021   08:12 Diperbarui: 21 Februari 2021   09:21 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Peringatan HBII, Bagaimana Mencegah Kepunahan Bahasa Daerah?

Hari ini, tanggal 21 Pebruari adalah Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII) sesuai dengan penetapan UNESCO PBB. Dengan penetapan HBII tersebut, UNESCO PBB ingin mengingatkan setiap insan manusia di dunia untuk mengingat bahasa ibunya. Dengan mengingat, maka kita akan bertanya kepada diri sendiri, apakah bahasa ibu kita masih ada atau sudah punah.

HBII yang berasal dari kisah Perjuangan di Bengali yang ingin mempertahankan bahasa Bengali di Bangladesh pada tahun 1952 telah diadopsi UNESCO PBB menjadi peringatan HBII. Apa urgensi dan pentingnya penetapan HBII ini bagi UNESCO PBB dan bagi kita? Apa  makna dan arti bahasa daerah bagi kita?

   "Bahasa lebih dari sekadar alat komunikasi. Tapi ini adalah kondisi kemanusiaan kita. Nilai-nilai kita, keyakinan kita tertanam di dalamnya," kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay dikutip dari situs UN.org (liputan6.com, 21 Pebruari 2019?

Lebih jauh dia mengatakan, "keragaman bahasa mencerminkan kekayaan imajinasi dan cara hidup kita yang mungkin tak pernah terbayangkan."

Menurut Ethologue (2015) ada 7.102 bahasa dituturkan di dunia. Di Indonesia tercatat 707 bahasa yang dituturkan 221 juta penduduk. Itu berarti kurang lebih dari sepuluh persen dari jumlah bahasa di dunia ini ada di Indonesia. Dan di Indonesia 146 terancam punah dan 12 bahasa yang sudah punah.

Bahasa yang diduga punah itu terdapat di Indonesia Bagian Timur seperti bahasa Hukumina, Kayeli, Liliali, Morsela, Naka'da, Nila, Palumata, Piru, Te'un di Maluku. Mapia dan Tandia di Papua, serta Tobada di Sulawesi.

Pertanyaan kepada kita adalah, bagaimana dengan bahasa daerah kita sendiri? Bahasa Ibu kita? Apakah masih aman dan berkembang atau sudah punah. Bagaimana ciri-ciri atau keadaan yang disebut punah itu rupanya? Mungkin itu pertanyaan yang baik.

Menurut UNESCO (2003), daya hidup bahasa ada dalam enam golongan atau tingkatan:

  • Aman : bahasa dituturkan oleh semua generasi dan transmisi antar generasi tidak terputus.
  • Rentan : Bahasa dituturkan oleh anak-anak, tetapi hanya pada ranah tertentu.
  • Terancam : anak-anak tidak lagi menggunakan bahasanya di rumah sebagai bahasa ibu.
  • Sangat terancam : bahasa hanya digunakan antar generasi tua, tetapi tidak kepada anak-anak.
  • Hampir punah : hanya generasi tua yang dapat menuturkan, tetapi jarang digunakan.
  • Punah : Tidak ada penuturnya.

Dimanakah golongan bahasa ibu atau bahasa daerah kita dari enam penggolongan atau tingkatan yang dibuat UNESCO PBB diatas. Mari kita lihat ke dalam keluarga kita, lingkungan suku kita dan bangsa kita di Indonesia. Dengan posisi bangsa kita yang memiliki bahasa daerah kurang lebih sepuluh persen dari bahasa yang ada di dunia, maka bagaimana bangsa kita bisa menjamin bahwa bahasa daerah kita ini tidak punah?

Salah satu penyebab punahnya bahasa daerah adalah represi terbuka yang mengatasnamakan "persatuan nasional".  Semenjak Soempah Pemuda 28 Oktober 1928 dengan slogan berbahasa satu, Bahasa Indonesia seakan bahasa daerah kita ini dimarginalisasi. Bahasa Indonesia seakan dijadikan predator untuk membunuh bahasa daerah. Sesungguhnya hal seperti itu tidak perlu terjadi. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, tetapi bahasa daerah adalah identitas kita sebagaimana disebutkan oleh Dirjen UNESCO PBB yang dikutip diatas.

Dalam konteks menjaga bahasa daerah dari kepunahan, patut kita akui dan hargai usaha dari saudara sebangsa dan setanah air kita Suku Sunda. Pengembangan Basa Sunda bagi siswa, sekolah dan kantor sangat baik.

Kita mengenang seorang yang sangat berjasa bagi penyelamatan bahasa daerah, tokoh kita Ajip Rosidi yang telah meninggalkan kita pada 29 Juli 2020 berumur 82 tahun. Beliau mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage yang mendorong penyelamatan dan pengembangan bahasa daerah di Indonesia. Bukan hanya bahasa Sunda, namun juga bahasa daerah lainnya.

Yayasan kebudayaan Rancage memberikan penghargaan buku bahasa daerah yang terbit. Salah satu syaratnya, harus ada tiga buku minimal yang diterbitkan dalam satu bahasa daerah yang dikirimkan untuk mendapat penghargaan tahun itu. Setiap tahun dibuat acara penghargaan dan mengingat HBII. Dan pengaruh positifnya , berbagai sastrawan dan penulis dari berbagai daerah menjadi terinspirasi untuk menerbitkan buku berbahasa daerah.

Salah satu adalah bahasa Batak. Seorang sastrawan Batak yang sudah terkenal dengan berbagai novelnya dan sudah ada difilmkan. Beliau beralih dan  terjun ke penulisan Novel Bahasa Batak setelah menjadi sastrawan nasional selama empat puluh tahun. Namanya Saut Poltak Tambunan. Beliau membuat Novel Tetralogi, empat novel berjudul Si Tumoing. Beliau juga mengajak penulis lain untuk bisa melanjutkan penulisan buku dan cerita dalam Bahasa Batak. Berbagai buku diterbitkan dalam bahasa Batak.

Jika alm Ajip Rosidi sudah menorehkan catatan sejarah yang menginspirasi untuk penyelamatan bahasa daerah di Indonesia, bagaimana dengan kita? Saut Poltak Tambunan telah menorehkan sejarah penulisan novel Bahasa Batak dengan Tetralogi si Tumoing, bagaimana dengan kita? Mungkin sudah banyak orang lain menuliskan buku dalam bahasa daerahnya sendiri, namun tidak kita sebut disini, bagaimana dengan kita?

Bagaimanakah nasib 707 bahasa yang ada di Indonesia ini? Apakah ini akan aman atau punah juga? Siapa yang harus menjaganya agar tidak  punah? Apakah cukup upaya penyelamatan ini kepada pemerintah? Bagaimana kalau pemerintah hanya mengutamakan pembinaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan?

Kita sebagai bangsa yang memiliki 707 bahasa dan sepersepuluh dari bahasa yang ada di dunia harus bangga. Bahasa daerah yang beragam ini adalah anugerah dari Sang Pencipta yang harus kita jaga. Jika ini punah, maka kita telah menjadi orang yang tidak bertanggung jawab atas anugerah dari Sang Pencipta kita.

Bagaimana cara mencegah kepunahan Bahasa Daerah sebagai anugerah dari Sang pencipta ini? Sederhana saja. Ayo kita gunakan bahasa ibu, bahasa daerah kita di rumah kita. Mari kita ajarkan anak-anak kita berbahasa daerah. Para ibu-ibu harus mengajarkan anaknya bahasa ibunya sejak dari kandungan, ketika lahir, berkembang sebagai anak, remaja dan pemuda. Lanjutkan  ke lingkungan keluarga yang lebih besar.  Sesudah itu dilanjutkan ke komunitas suku kita.

Keluarga adalah tempat penyemaian, pengembangan dan sekaligus penjaga bahasa ibu, bahasa daerah. Jika setiap keluarga, setiap ibu menuturkan dan mengajarkan bahasa daerahnya kepada anaknya, maka bahasa daerah itu akan aman. Tidak akan punah.

Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional mengingatkan itu kepada kita. Penetapan 21 Pebruari sebagai HBII hendaknya kita sadari sebagai peringatan dari UNESCO PBB kepada kita agar kita mencegah kepunahan bahasa ibu kita. Hormati ibumu dengan menjaga dan memelihara bahasa ibumu. Itu cara efektif mencegah kepunahan bahasa ibumu. Ayo kita mulai hari ini. Semoga.

Selamat Hari Bahasa Ibu Internasional 21 Pebruari.

Salam hangat.

Aldentua Siringoringo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun