Mohon tunggu...
Alda Gemellina
Alda Gemellina Mohon Tunggu... writer

A writer who frees herself in her imagination, explores infinite space and pours it out in a flow of feeling, along with every word arranged in a series of stories.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Trauma; Ketika Luka Tak Pernah Sembuh

22 Juli 2025   11:27 Diperbarui: 22 Juli 2025   12:04 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah Puisi Tentang Luka (Foto oleh Thought Catalog: https://www.pexels.com/id-id/foto/halaman-buku-2228578/)

Kehidupan terbentang dalam tiga dimensi waktu: masa lalu yang telah dilewati, masa sekarang yang dijalani, dan masa depan yang penuh harapan. Banyak orang percaya bahwa apa yang terjadi di antara ketiga waktu tersebut, saling berkaitan satu sama lain. Apa yang terjadi hari ini adalah hasil dari kejadian sebelumnya, dan apa yang terjadi esok hari bergantung pada apa yang dilakukan hari ini. Seperti garis lurus yang membentang tanpa akhir, kehidupan manusia adalah perjalanan yang tak terputus, di mana setiap langkah merekam memori dan pengalaman. Manusia merekam setiap momen, layaknya sebuah live documenter dari sejak ia pertama kali menyapa dunia dengan tangis, sampai dengan durasi yang tidak diketahui pasti. Oleh karena itu, manusia telah dipersiapkan sedemikian rupa dengan dilengkapi ruang penyimpanan berkapasitas lebih dari 2,5 juta Gigabyte yang disebut dengan otak. Jika dianalogikan, maka itu setara dengan 625.000 film dengan kualitas HD, 1,25 juta album musik dengan kualitas CD atau sekitar 500 juta foto dengan kualitas tinggi.

Memori otak manusia seperti perpustakaan raksasa yang menyimpan setiap peristiwa, baik itu kebahagiaan maupun kesedihan, tanpa terkecuali. Termasuk di antaranya luka yang tak pernah sempat dikelola dengan baik, yang bersembunyi dibalik kata trauma. Jika biasanya semua memori tersimpan di bagian otak bernama Hipokampus, maka memori traumatis cenderung tertahan di sebuah ruang berbentuk serupa kacang almond yang disebut Amigdala. Ia berperan dalam pemrosesan emosi dari setiap peristiwa. Tidak ada fitur delete dalam otak manusia kecuali ada kerusakan sistem di dalamnya. Yang ada hanyalah pengaturan ulang, untuk mengatur kembali susunan penyimpanan dari setiap memori. Saat seseorang memiliki memori traumatis dan tak sempat untuk ditangani, maka kapan pun dan di mana pun rekaman dari memori tersebut akan terputar kembali, sebab lukanya tak pernah terobati.

Sering kali seseorang merasa bahwa dirinya telah pulih, padahal Ia hanya sedang mengabaikan lukanya. Menurutnya, dengan fokus pada apa yang terjadi saat ini dapat membantunya mengurangi distraksi dari trauma yang dirasakan. Sederhananya, ibarat sebuah rumah, trauma dapat menjadi fondasi yang rapuh bagi mereka yang menyimpannya. Yang tampak kokoh dari luar namun penuh retakan di dalamnya. Rumah yang mudah hancur sewaktu-waktu. Orang yang meninggali rumah tersebut mengira akan aman-aman saja, tanpa sadar hal tersebut dapat membahayakan dirinya. Sebab trauma tidak hanya meninggalkan luka, tapi juga bisa membentuk pola pikir dan perilaku yang tidak sehat sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Seperti bentuk perfeksionisme atau penghindaran, untuk melindungi diri dari rasa sakit yang pernah mereka alami.

Sebagai contoh, seseorang yang pernah mengalami ejekan dan tekanan untuk sempurna di masa kecil mungkin tumbuh menjadi orang yang perfeksionis, selalu berusaha keras untuk memenuhi standar yang tidak realistis. Mereka mungkin merasa bahwa kekurangan adalah kelemahan yang tidak bisa diterima, dan ini bisa mempengaruhi hubungan mereka dengan orang lain dan diri sendiri. Jika orang tersebut tidak segera menyadarinya, maka mekanisme ini dapat menjadi bumerang yang justru memperburuk keadaan. Karena sejatinya rasa trauma muncul akibat kegagalan respon tubuh dalam mengolah rasa dari suatu kejadian (traumatic event). Terdapat diskoneksi antara sisi psikologis dengan sisi emosional di dalam tubuh.

Untuk dapat pulih, orang tersebut harus siap untuk menilik kembali ke dalam dirinya. Memperhatikan setiap detail di dalamnya, menerima setiap luka yang ada, dan perlahan mulai untuk mengisi setiap retakan tersebut agar kembali kokoh. Bahkan saat ia selesai memperbaiki rumahnya, bukan berarti retakan itu tak muncul lagi. Begitu pun dengan rasa trauma. Ia bisa kembali muncul jika seseorang tidak lagi merawat rumahnya. Oleh karena itu, dalam proses pemulihan dibutuhkan keberanian dan kesiapan untuk menghadapi diri sendiri, menengok kembali kondisi rumah yang selama ini terabaikan, dan mengakui kebutuhan diri sendiri. Seperti yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli psikologi, Th. Etviokta W.P, S.Psi., M.Psi., bahwasanya pulih bukanlah sebuah tujuan, tapi pulih adalah perjalanan. Seseorang akan pulih hanya ketika orang tersebut tahu dan menyadari apa yang harus dilakukan, dan melakukannya secara konsisten. Sebab pulih bukan berarti hilang. Ia hanya kembali ke kondisi terbaiknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun