Mohon tunggu...
Mustafa Kamal
Mustafa Kamal Mohon Tunggu... Guru - Seorang akademisi di bidang kimia dan pertanian, penyuka dunia sastra dan seni serta pemerhati masalah sosial

Abdinegara/Apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kutemukan Cinta di Antara Cerita PRRI di Ranah Minang

13 Maret 2022   12:32 Diperbarui: 13 Maret 2022   16:09 1541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto. Rumah Gadang (Dok. pribadi)

Travel dari Bandara Minangkabau mengantarkan aku ke hotel kecil, murah namun nyaman di seberang Ngarai Sianok Kota Bukittinggi. Setelah selesai urusan di resepsionis saya masuk ke kamar hotel. Lumayan. saya menyingkap gorden kamar, dibawah sana ngarai sianok mengular sangat indah. Saya mengambil rokok, membuka jendela dan mengisap rokok dengan nikmatnya. Pandangan saya jauh ke hamparan ngarai dibawah sana. Saya membuka WA dari paman saya.  "Setiba kau di Bukittinggi, hubungi nomor ini 081363123456 namanya Pak Is. Semua informasi tentang kakekmu, beliau mengetahui."

Selesai mandi. Saya bergegas memesan ojek online menuju ke tempat yang disebutkan Pak Is dalam pembicaraan telepon. Tempat yang dituju lumayan jauh, tapi pemandangan kota serta alam minangkabau mampu menepis penat duduk di atas motor. Setelah membayar ojek online saya mengetuk pintu rumah gadang yang nampak sudah tua dan tidak terawat yang ditunjuk oleh pemilik warung tempat saya bertanya rumah Pak Is. Seorang wanita berkerudung membuka pintu. Cantik sekali. Saya taksir usianya belasan tahun sepantaran anak SMP atau SMA. "Pak Is ada, uni?" Dia tersenyum dipanggil uni. Berlari kedalam malu-malu. "Antan...ado yang cari antan tu..." terdengar suaranya memanggil seseorang.

Pak Is dengan usianya yang sudah 80 tahun lebih itu masih nampak bugar dan sehat. Beliau mempersilahkan saya masuk, kami duduk di tengah rumah gadang tersebut. Gadis cantik tadi mengantarkan teh manis dan gorengan ubi.  Setelah berbasa-basi sedikit, Pak Is menanyakan maksud kedatangan saya. Saya menjelaskan saya adalah anak Siti Hajar, Siti Hajar adalah putri Iskandar Sutan Bagindo. Ibu saya menikah dengan pria Jawa bernama Subagyo di Jakarta. Saya ke sini atas permintaan Ahmad Sutan Basa, paman saya, kakak tertua dari Ibu saya. Ibu saya sebelum meninggal pernah berpesan agar saya menuliskan kisah sebenarnya tentang kakek saya Iskandar Sutan Bagindo yang dibunuh di Jam Gadang oleh Tentara Jawa  ketika datang ke bukittinggi untuk menumpas pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah. Ibu saya mengatakan bahwa ayahnya bukan pemberontak seperti yang dituduhkan oleh pemerintah waktu itu, Ibu saya yakin sekali ayahnya tidak terlibat PRRI. Kakek saya itu kata ibu saya hanya seorang penjahit baju di kota Bukittinngi.

Pak Is menghela nafas panjang. Tatapannya jauh ke masa silam. "Ya, Saya dan kakekmu berkawan dari kecil. Kakekmu memang adalah seorang tukang jahit baju di Kota Bukittinggi, sedang saya  pedagang kain. Kakekmu langganan bahan baju kepada saya. Kakekmu dan saya tidak pernah terlibat PRRI.  Waktu itu bulan April tahun 1958. Kakekmu dan saya sama-sama berumur 18 tahun. Seumur itu kami sudah menikah dan masing-masing sudah punya dua anak yang masih kecil-kecil. Kakekmu penjahit sedang saya penjual kain. Kehidupan waktu itu biasa-biasa saja. Cerita politik hanya jadi bahan "ota" (cerita) kami di kedai kopi. Kami tidak tahu menahu dengan pergerakan atau PRRI. Kami hanya rakyat biasa. "

Beliau berhenti sejenak dan minum teh yang disajikan sejenak. "Pagi itu ketika membuka kedai kami melihat banyak sekali Tentara berseliweran, memang sebelumnya kami ada mendengar isu agar tidak membuka kedai dan bersembunyi saja dirumah. Yang laki-laki disuruh bersembunyi ke perbukitan ke pedalaman nagari sekitar Bukittinggi. Isunya Tentara Jawa sebutan untuk Tentara pusat waktu itu sudah tiba di Padang dan membunuh banyak laki-laki yang dituduh terlibat PRRI. Karena kami merasa tidak terlibat tetap saja datang ke pasar, pagi itu memang suasana pasar nampak sepi. Saya ketika melihat tentara menangkap beberapa laki disekitar pasar termasuk kakekmu, saya melihat itu takut langsung mengendap dan pulang berjalan kaki bersembunyi-sembunyi. Sepeda saya tinggal .Malam hari saya baru sampai dirumah saya di Kamang. Malam itu juga saya diminta oleh ortu saya lari ke bukit ikut warga yang lain. Setelah situasi reda saya baru dapat cerita bahwa mereka yang ditangkap itu ditembaki di Jam Gadang.  Termasuk kakekmu. "

"Berarti benar peristiwa pembunuhan dijam gadang itu ya, kek?" Tanya saya meminta penegasan. Beliau menghela nafas. " Cerita ini sebenarnya sudah lama dipendam. Demi masa depan orang minang dikemudian hari, sepertinya terjadi kesepakatan tak tertulis untuk mendiamkan kekejaman tentara pusat ketika menumpas PRRI di Ranah minang waktu itu. Peristiwa pembunuhan, penangkapan, pembakaran banyak rumah gadang di nagari-nagari di seluruh ranah minang, dianggap suatu resiko yang harus diterima begitu saja. Hendak menuntut kemana. Arang sudah dicoreng dikening. Dicap sebagai pemberontak. "

"Mengapa Hatta, Syahrir, orang minang yang menjabat waktu itu diam saja, kek. Mengapa pula PRRI tidak melawan, malah kabur ke perbukitan." Tanya saya kritis.

" Kakek ini tidak tahu apa-apa. Hatta dan syahrir pendiri bangsa inipun kakek rasa menyesali peritiwa itu terjadi ditengah upaya mereka menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Kakek ini hanya mendengar cerita dari orang kampung adalah karena yang tentara PRRI itu hanya sedikit orang dengan sedikit senjata, tidak akan mampu melawan tentara yang datang dengan senjata dan peralatan perang lengkap. Kalo dipaksakan melawan rakyat yang akan jadi korbannya. Maka mereka memilih mundur dan bersembunyi."

"Tapi nyatanya kek...tetap saja banyak rakyat berdosa yang jadi korban baik nyawa mapun hartanya."

"Ya, apa boleh buat. Waktu itu tidak berlaku hukum perang seperti sekarang yang tidak memboleh membunuh rakyat sipil. Waktu itu tergantung dari hati komandan dan situasi dilapangan. Mungkin saja komandannya marah setiap ditanya rakyat menjawab tidak tahu kemana tentara PRRI pergi. Maka dibunuhlah. Agar yang lain mengaku dan menunjuk jalan persembunyian PRRI. Sayangnya banyak yang memang benar-benar tidak tahu yang kemudian menjadi korban."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun