“Bahasa adalah cermin budaya. Di balik kosakata yang jarang digunakan, tersimpan jejak sejarah dan rasa yang membentuk identitas suatu bangsa. Salah satunya adalah kata semara.”
Bahasa Indonesia merupakan hasil interaksi panjang berbagai bahasa daerah, pengaruh asing, serta perkembangan zaman. Seiring modernisasi, banyak kosakata klasik mulai terpinggirkan dari percakapan sehari-hari. Salah satu kata yang kini jarang terdengar adalah semara. Berdasarkan KBBI VI Daring, semara berarti cinta kasih atau asmara. Meskipun memiliki kemiripan makna dengan kata “asmara”, semara menampilkan nuansa yang lebih halus, klasik, dan sarat estetika.
Kata semara berakar dari bahasa Sanskerta smara, yang secara literal berarti “cinta” atau “kerinduan”. Dalam kebudayaan Hindu, Smara bahkan merujuk pada dewa cinta, setara dengan Kamadeva. Melalui proses akulturasi budaya di Nusantara, istilah ini masuk ke dalam bahasa Melayu Klasik dan berkembang menjadi bagian dari kosakata sastra. Di era naskah kuno, kata semara kerap muncul dalam hikayat, gurindam, dan pantun untuk menggambarkan perasaan cinta yang penuh kelembutan.
Perubahan makna dan penggunaannya sejalan dengan perubahan zaman. Dalam masyarakat tradisional, cinta kerap dibicarakan secara tersirat, menggunakan bahasa kiasan dan pilihan kata yang lembut. Semara menjadi salah satu sarana linguistik untuk mengungkapkan rasa tanpa harus bersifat gamblang.
“Semara bukan hanya sekadar kata yang berarti cinta, tetapi juga warisan cara berbahasa yang memuliakan rasa melalui kelembutan diksi.”
Di dalam karya sastra, pemilihan kata bukanlah perkara kebetulan. Penulis memilih semara ketika ingin menampilkan suasana romantis yang bersifat klasik. Misalnya, penyair masa lalu lebih memilih mengatakan “terpaut dalam semara” ketimbang “jatuh cinta” karena memiliki daya pikat bunyi dan makna yang lebih puitis.
Nuansa yang dibawa oleh semara berbeda dengan sinonim modern. Kata “cinta” bersifat umum dan dapat digunakan di berbagai konteks, sedangkan semara menghadirkan nuansa nostalgia, membangkitkan citra masa lalu yang lembut dan penuh estetika.
Selain itu, semara sering digunakan dalam struktur kalimat yang berirama, seperti pantun atau gurindam. Dalam bentuk ini, semara tidak hanya menyampaikan makna tetapi juga membantu membentuk musikalitas bahasa.
Fenomena hilangnya kata-kata klasik seperti semara disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain perubahan gaya berkomunikasi, dominasi kosakata populer, dan berkurangnya minat membaca karya sastra lama. Padahal, setiap kata yang hilang adalah hilangnya sebagian kecil dari identitas budaya bangsa.
Upaya pelestarian kosakata ini bisa dilakukan melalui pendidikan, penulisan kreatif, dan media digital. Guru bahasa, penulis, maupun pembuat konten dapat menghidupkan kembali kata semara dalam karya-karya mereka. Dengan demikian, kata ini tidak hanya bertahan di kamus, tetapi juga kembali digunakan dalam percakapan dan tulisan.
Di tengah arus globalisasi, penggunaan kata seperti semara dapat menjadi penanda identitas linguistik yang unik. Kata ini mengingatkan bahwa cinta, meskipun konsep universal, dapat diungkapkan dengan cara yang khas menurut budaya masing-masing. Menghidupkan kembali kata semara bukanlah sekadar nostalgia, melainkan juga bentuk penghargaan terhadap keindahan bahasa.
Bahkan, dalam dunia modern yang serba cepat, memilih kata dengan rasa yang mendalam seperti semara bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap simplifikasi berlebihan dalam komunikasi. Kata ini mengajak pembicara dan penulis untuk berhenti sejenak, merasakan makna, dan menghargai proses berbahasa.
Semara adalah cerminan warisan bahasa yang kaya, lahir dari perpaduan sejarah, budaya, dan estetika. Ia bukan sekadar kata yang berarti “cinta kasih”, melainkan pintu masuk untuk memahami cara masyarakat masa lalu mengungkapkan rasa. Melestarikan semara berarti menjaga salah satu harta berharga dalam perbendaharaan bahasa Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI