Saat kita semua sadar bahwa tambang ilegal adalah sebuah ancaman, maka sudah saatnya kita memilih jalan tegak. Tindak dan beri ultimatim kebijakan yang membawa dampak jangka panjang. Sudah saatnya, kita tunggu apa lagi?
Luka yang Sama dari Dua Ujung Nusantara
Sejak kecil saya hidup di pelosok Kalimantan Timur, wilayah yang kini masuk Kalimantan Utara. Dulu, bermain di sungai adalah sebuah kemewahan. Airnya jernih, segar, dan jadi tempat anak-anak menyalurkan tawa. Dua puluh tahun kemudian, sungai itu bukan lagi sahabat. Ia berubah menjadi kubangan keruh, tercemar oleh aktivitas tambang yang ugal-ugalan.
Pengalaman itu membekas. Bahkan ketika saya sempat menjadi dosen pengganti selama tiga bulan di Samarinda dan Balikpapan, saya kaget sekaligus sedih mendapati masyarakat begitu memaklumi tambang liar. Mereka menyebutnya "tambang koridor"---seolah sebuah istilah keren---padahal sejatinya adalah praktik ilegal. Mirisnya, tambang itu dianggap sumber uang dan lapangan kerja tanpa pernah dipikirkan dampaknya bagi lingkungan.
Kakek saya, seorang petani sederhana, merasakan langsung akibatnya. Hasil panen tak lagi maksimal karena tanah dan air yang tercemar. Sedih beribu sedih! Terlebih, pemerintah dalam hal ini Gubernur Kaltim seolah menutup mata.
Di titik inilah saya melihat ada cahaya dari ujung barat nusantara: Aceh. Gubernur Aceh saat ini, Muzakir Manaf atau Mualem, berani mengambil sikap yang seharusnya bisa ditiru pemimpin daerah kaya tambang seperti Kaltim.
Ketegasan Aceh: Ultimatum Dua Minggu
Pada 25 September 2025, Gubernur Aceh Muzakir Manaf mengeluarkan ultimatum tegas: seluruh alat berat yang dipakai untuk tambang ilegal harus keluar dari hutan dalam waktu dua minggu. Jika tidak, akan ada tindakan keras---bahkan ancaman pembakaran ekskavator. Pernyataan ini disampaikan di hadapan DPR Aceh, dan disambut tepuk tangan anggota dewan.
Langkah ini lahir dari keprihatinan mendalam. Data menunjukkan, tambang ilegal di Aceh sudah sangat merusak:
- Baca juga: Hedonis: Dari Pragmatis ke Falsafah Plato
450 titik tambang ilegal tersebar di berbagai kabupaten.
-
Sekitar 1.000 ekskavator beroperasi, dengan setoran gelap hingga Rp360 miliar per tahun ke aparat.
Ribuan hektare hutan rusak dalam lima tahun terakhir.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!