Gagasan Pak Jusuf dalam arti substansial di kalangan terbatas di Yogya dan di tempat-tempat lain sudah lama dirintis dan menunjukkan hasil yang sangat positif. Anak-anak muda NU di Yogya, Semarang, dan lain-lain sudah terlalu biasa mengundang orang-orang semisal Kuntowijoyo, M.A. Rais, M. Rusli Karim, serta banyak yang lain dalam pertemuan-pertemuan diskusi yang mereka selenggarakan. Bulan puasa yang lalu saya sendiri sampai dua kali turut serta dalam diskusi yang dimotori oleh anak-anak umat dari PMII di Yogya.
Bukankah fenomena seperti ini merupakan fajar kesadaran baru di kalangan anak-anak muda yang sudah bosan dengan tradisi berpikir "yang-itu-ke-itu juga"? Maka apa yang diselenggarakan oleh anak-anak umat dari Universitas Muhammadiyah Surabaya dengan menampilkan tokoh Jusuf Hasjim telah semakin menyadarkan kita bahwa trauma sejarah masa lalu memang sudah harus dipupus, dimaafkan, dan dinilai sebagai suatu proses dalam rangka mencari jati diri sebagai umat yang satu. Kompak lahir batin!
Kini Saatnya Umat Melangkah Bersama
Atau dalam ungkapan lain, kita dapat mengatakan bahwa umat ini tampaknya telah semakin apresiatif terhadap perintah Al-Qur'an tentang ukhuwah imaniyah yang bernilai sangat strategis dalam mengarahkan kekuatan-kekuatan sejarah, baik dalam skala lokal, nasional, ataupun global.
Adapun masih ada pihak-pihak yang belum juga memahami arus kesadaran baru ini, menurut hemat saya, tidak perlu terlalu dirisaukan. Sebuah perubahan sikap mental memang selamanya memerlukan tempo. Tapi bahwa arus kesadaran baru itu di mata anak muda sudah tidak mungkin dibendung lagi.
Bebaskan Diri dari Fanatisme! Saatnya Berpikir Konstruktif dan Mandiri
Islam di tanah air kita sekarang bukan lagi Islam yang masih berada dalam pasungan kolonialisme. Islam di sini hidup secara kreatif dalam sebuah negara dan bangsa merdeka. Oleh sebab itu, anak-anak umat yang lahir dan dibesarkan di alam merdeka akan mampu berpikir dan bertindak lebih merdeka dan lebih kreatif dari generasi sebelumnya. Beban sejarah sebagai umat terjajah tidak lagi menghantui mereka untuk berpikir bebas, konstruktif, dan mandiri.
Dan bukanlah sebuah dosa sejarah bila mereka menempuh jalan sendiri untuk pembumian pesan-pesan Islam sebagaimana yang mereka rumuskan sendiri. Beri mereka peluang untuk menentukan masa depan umat di tanah air kita.
Kemudian, bila kita beralih kepada jajaran birokrasi, khususnya Departemen Agama yang dulu pernah menjadi ajang konflik antara NU dan Muhammadiyah, kini situasinya tampaknya sudah semakin mereda. Oleh sebab itu, tampaknya perlu semakin lebih dipikirkan masalah promosi jabatan di lingkungan Depag ini, agar benih-benih konflik tidak kambuh kembali di masa-masa yang akan datang.
Artinya, promosi jabatan benar-benar harus didasarkan kepada kriteria kualitas pribadi seorang pejabat yang akan diangkat. Cara-cara lama yang lebih menekankan pertimbangan kepentingan golongan haruslah dipandang tidak etis secara Qur'ani. Bila tindakan itu dilakukan juga, maka hal itu haruslah dikategorikan sebagai perbuatan amoral.
Bukankah pada waktu-waktu yang lalu konflik-konflik internal di lingkungan Depag telah turut menguras energi umat untuk sesuatu yang sia-sia serta memperdalam luka-luka lama?
Akhirnya, kita berharap bahwa gema Surabaya akan mendapat perhatian yang serius oleh kita yang benar-benar sadar akan keberadaan Islam di tanah air kita. Jika pun gagasan rangkap anggota masih akan menemui banyak kendala, substansi dari gagasan itu haruslah kita tangkap sebagai manifestasi dari iman kita dalam hidup bermasyarakat.
Salam hangat,
Pak Ud.