Mohon tunggu...
Andi Ardianto
Andi Ardianto Mohon Tunggu... Guru - Guru SD IT Insan Cendekia

Semoga tulisan yang saya hasilkan bisa menjadi amal yang terus mengalir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kabur dari Pondok

16 Desember 2018   07:46 Diperbarui: 16 Desember 2018   07:53 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti selalu saya katakan, "Anak-anak adalah sumber inspirasi,"

Ada salah satu santri kami yang perubahannya cukup drastis. Sangat drastis bahkan. 

Anak ini pernah lari dari pondok. Penyebabnya sepele. Ada orangtua yang menjenguk anak ke pondok. Bertepatan mereka bertetangga. Dulu sekolahnya juga sama. Beda satu tingkat.

Orangtua mereka bahkan sama-sama pengurus di yayasan pendidikan tadi.

Tetangganya ini berniat minta izin membawa anaknya keluar sebentar. Ada acara.

Nah, si X ini mau ikut. Minta izin pada saya. Ditolak. Karena memang tidak ada alasan kuat.


Ya sudah... temannya ini pergi bersama ayahnya. Awalnya dia terima keputusan saya tadi.

Tapi siapa sangka dia nekat keluar pondok. Lari sambil menangis. Mengejar mobil.

Saya baru tahu berita ini beberapa waktu kemudian. Karena setelah menolak izin, saya pergi dari pondok. Ada acara di luar. Sampai sore.

Untung ada yang tahu dia kabur. Membujuknya kembali ke pondok. Saat dia sesenggukan di pinggir sawah. Kehilangan jejak mobil. Sudah kecapaian juga. Atau takut meneruskan perjalanan.

Tidak mudah juga mengajaknya balik. Perlu bujukan panjang lebar. Endingnya dia mau.

Sampai pondok langsung tidur. Lelah. Sebagaian energi sudah terkuras. Untuk lari mengejar mobil.

//

X ini juga sering nangis. Sedikit-sedikit nangis. Kalau main sama teman terus ada yang menyinggung, mogok. Nggak mau main lagi.

Ke kamar. Membenamkan wajah di bantal. Makanya lama-lama teman-teman itu agak malas main sama dia.

Dijauhi sama teman sekelas. Akhirnya adik kelas yang masih menerima dia main bareng.

Gerah juga mungkin ya diperlakukan gitu sama teman-teman, perlahan dia berubah. Mulai jarang mogok dan marah kalau main.

Jadi suka berbagi. Makanan. Mainan. Waktu berlalu dia pun jadi akrab lagi sama yang besar. Sudah terlibat dalam setiap kegiatan teman seangkatan.

Tidak hanya saat main. Dulu dia juga sering nangis saat hafalan. Maunya terus nambah, padahal yang lama saja belum benar. Belum lancar.

Ditarget sekian nggak tercapai. Ditegur nggak terima. Ya sudah, kalau setoran jadi ditunda dulu sama pengampunya. Baca dulu sekian puluh kali. 

Sudah betul dan lancar baru boleh maju. Memang kalau sama anak yang kayak gini guru nggak boleh kalah kok.

Berbulan kemudian dia mulai banyak perubahan. Hafalannya kian serius. Tidak mudah tergoda untuk main saat hafalan.

Ke masjid pun jadi rajin. Sudah datang duluan sebelum yang lain. Bahkan sebelum muadzin mengumandangkan adzan.

Untuk adzan dia memang belum begitu berani. Nggak apa-apa. Perlahan nanti juga bisa dan berani.

Beberapa kali saat yang lain belum sampai masjid dia sudah selesai shalat sunah. Lanjut tilawah. Sampai iqomah.

Perubahan itu nyata banget.

Pada anak yang begini sebenarnya jadi peringatan untuk saya, gurunya.

Jangan mudah menghukumi anak begini begini hanya karena kekurangan saat ini. Sudah banyak yang berubah melebihi perkiraan.

Padahal dulu diremehkan. Padahal dulu memenuhi ruang pikiran.

Yang dia perlukan adalah bimbingan. Kesabaran. Dukungan. Kepercayaan. Dan semua dikuatkan lewat do'a tak berkesudahan.

===

PPTQ Insan Cendekia, Boyolali

Andi Ar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun