"Le, saya itu senang kalau momong cucu..." Begitu kata ibu beberapa bulan yang lalu. Saat itu kami memang menyengaja pulang, demi memenuhi harapan orangtua untuk melepas kerinduan pada cucu-cucunya.
Kita semua pasti meyakini, tidak ada yang perlu diragukan dari kecintaan simbah pada cucunya. Di mana saja, kehadiran cucu biasanya lebih diharapkan dibanding anaknya.
"...Tapi, kalau terus anakmu dititipkan ke saya, jelas, saya tidak mau" Katanya melanjutkan sembari tangannya masih sibuk menyuapi cucu keduanya itu.
Kalimat ini tidak hanya menegaskan perasaan di hatinya. Bukan pula karena beliau merasa kami akan menitipkan anak lantas kerja di luar kota.
Ibu sangat tahu kalau kami tidak akan melakukan hal itu. Sejak awal pernikahan kami memang sudah komitmen, setidaknya pada dua hal.
Pertama, tidak tinggal bersama orangtua. Kami telah membangun rumahtangga sendiri. Telah melayarkan kapal sendiri. Kami tidak ingin ada dua nahkoda di perjalanan kami.
Dengan hidup mandiri, jauh dari orangtua kami lebih leluasa menentukan kemana arah kapal, berapa kecepatannya, dan dimana kami harus berhenti, sejenak, lalu melanjutkannya kembali.
Kedua, merawat sendiri anak-anak. Pada anak-anaklah harapan dan cita-cita kami tambatkan. Kami ingin membentuk dan menghantarkannya sesuai kelebihan dan passionnya.
Cita-cita itulah yang mungkin mengilhami lbu melanjutkan perkataannya, "... Dia itu anakmu. Kamu yang lebih tahu mana yang terbaik untuknya"
Dan kalimat yang tidak kalah menghentakkan hati kami adalah, "Kalau ada anak yang suka menitipkan cucu pada simbahnya, ya saru"
Ah, saya sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
----
Andi Ar
Guru SDIT Insan Cendekia, Teras, Boyolali, Jawa Tengah