Mohon tunggu...
Subhan Alba Bisyri
Subhan Alba Bisyri Mohon Tunggu... DOSEN

FISIP

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Santri Tewas, diPesantren Roboh , Tanggung Jawab Siapa?

6 Oktober 2025   12:31 Diperbarui: 6 Oktober 2025   12:31 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Santri Tewas Di Musholah Pesantren Roboh, Tanggung Jawab Siapa?",

Oleh Subhan Alba

Runtuhnya musala di Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, yang menewaskan santri, bukan sekadar tragedi konstruksi. Ia adalah alarm keras tentang absennya negara dalam menjamin keselamatan anak-anak yang sedang menuntut ilmu agama. Tragedi ini mengguncang nurani publik dan membuka pertanyaan mendasar: apakah negara benar-benar hadir dalam melindungi santri?

Tragedi ini membuka luka lama: lemahnya pengawasan terhadap infrastruktur pesantren yang dibangun secara swadaya, tanpa standar teknis yang memadai. Bangunan musala yang runtuh sedang dalam proses pembangunan bertahap, dikerjakan oleh pengasuh pesantren sendiri. Tidak ada audit teknis, tidak ada supervisi dari dinas terkait. Padahal, UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren secara eksplisit menyebutkan bahwa pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang berhak atas perlindungan dan dukungan negara.

Namun, implementasi regulasi tersebut masih jauh dari harapan. Pemerintah daerah sering kali hanya hadir setelah bencana terjadi, bukan sebagai mitra aktif dalam pencegahan. Dalam kasus Al-Khoziny, keterlambatan respons menunjukkan bahwa keselamatan santri belum menjadi prioritas kebijakan lokal. Tidak ada sistem deteksi dini, tidak ada mekanisme kontrol bangunan, dan tidak ada protokol keselamatan yang diterapkan secara sistematis.

Pesantren selama ini menjadi benteng moral bangsa. Ia bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi juga pusat pembentukan karakter dan spiritualitas generasi muda. Ironisnya, mereka dibiarkan membangun dengan iman, tetapi tanpa jaminan keamanan. Negara seharusnya tidak hanya mengakui pesantren secara administratif, tetapi juga hadir secara substantif: melalui audit bangunan, pelatihan keselamatan, dan alokasi anggaran yang berpihak. Tanpa itu, pesantren akan terus menjadi ruang belajar yang rentan, bukan ruang yang melindungi.

Lebih jauh, tragedi ini menunjukkan bahwa pendekatan kebijakan publik terhadap pesantren masih bersifat simbolik. Bantuan dana sering kali bersifat seremonial, tidak menyentuh aspek teknis dan keselamatan. Padahal, santri adalah anak-anak yang berhak atas perlindungan sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Negara tidak boleh membedakan antara anak di sekolah formal dan anak di pesantren. Keduanya sama-sama warga negara yang berhak atas pendidikan yang aman dan bermartabat.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah menegaskan bahwa setiap anak berhak atas tempat belajar yang aman dan nyaman. Namun, dalam praktiknya, pesantren sering kali luput dari perhatian kebijakan perlindungan anak. Tragedi Al-Khoziny menjadi bukti nyata bahwa regulasi belum menjangkau ruang-ruang pendidikan berbasis keagamaan secara menyeluruh.

Pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam memastikan kelayakan bangunan pendidikan. Namun, minimnya sinergi antara dinas pendidikan, dinas perizinan, dan dinas sosial membuat pengawasan terhadap pesantren berjalan parsial. Tidak ada sistem terpadu yang mengintegrasikan data pesantren, status bangunan, dan jumlah santri secara real-time. Akibatnya, potensi risiko tidak terdeteksi hingga korban jatuh.

Di sisi lain, pesantren sendiri sering kali enggan melibatkan pemerintah dalam urusan internal. Ada kekhawatiran bahwa intervensi negara akan mengganggu otonomi dan tradisi lokal. Namun, otonomi tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan keselamatan. Justru negara harus hadir sebagai mitra, bukan pengatur tunggal. Pendekatan partisipatif dan berbasis kepercayaan menjadi kunci.

Dalam konteks ini, penulis menawarkan gagasan Teori Proteksi Partisipatif Santri (PPS), yaitu model kolaboratif antara negara, komunitas pesantren, dan pihak eksternal untuk membangun sistem perlindungan yang berkelanjutan dan kontekstual. Negara bertugas menetapkan regulasi dan pengawasan, komunitas pesantren menjaga nilai dan kearifan lokal, sementara pihak eksternal seperti LSM dan sektor swasta dapat berperan dalam audit independen, pelatihan teknis, dan dukungan teknologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun