Sejak awal tahun 2018, nama-nama calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah di berbagai daerah mulai ditetapkan. Mereka yang maju ke gelanggang politik, telah memenuhi syarat Undang-Undang Pilkada untuk menjadi kandidat.
Dalam deretan nama yang tersebar di 171 daerah pemilihan (dapil) tersebut, ada sejumlah nama yang membuat orang yang mendengarnya seakan mengalami dejavu.
Sebut saja seperti nama Dodi Reza Alex Noerdin. Dari namanya saja sudah ketahuan ia memiliki hubungan kekerabatan dengan Alex Noerdin, Gubernur Sumatra Selatan yang tengah menjabat saat ini.
Dodi sendiri merupakan anak sang petahana dua periode tersebut. Mendaftar sebagai calon gubernur untuk Provinsi Sumatra Selatan, Dodi seakan hendak mengambil tongkat estafet kepala daerah dari tangan sang ayah.
Pada kontestasi kali ini, Dodi berpasangan dengan Giri Kiemas, keponakan mendiang Taufik Kiemas, nama yang tentu tidak asing lagi bukan?
Bergeser ke Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Di dalam Pilkada 2018 ini, istri sang petahana Dedi Mulyadi, Anne Ratna Mustika, mencalonkan diri sebagai Bupati Purwakarta. Sementara, sang suami saat ini juga tengah berjuang di laga Pilkada Jawa Barat sebagai calon wakil gubernur, mendampingi Deddy Mizwar.
Istilah dinasti politik melekat bagi mereka yang memiliki hubungan keluarga dengan pemimpin sebelumnya dan kini maju sebagai calon kepala maupun wakil kepala daerah. Hubungan kekerabatan yang erat antara petahana atau pejabat di daerah lain yang berdekatan, membuat cibiran pun seakan tak pernah lepas. Mulai dari opini, mereka tidak berkualifikasi hingga rawan melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), istilah yang justru sudah jarang terdengar.
Secara umum, pada pilkada serentak di tahun ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat ada sembilan nama yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana atau pemimpin sebelumnya. Asal tahu saja, Â sembilan kandidat ini terdiri dari delapan pasangan calon (paslon). Dua kandidat, Dodi dan Giri, menjadi satu-satunya paslon yang masing-masing datang dari dinasti politik atau memiliki darah politik.
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Soni Sumarsono mengungkapkan, dinasti politik untuk pemilihan kepala daerah memang sekarang lebih leluasa. Pasalnya sejak tahun 2015, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan Nomor 33 Tahun 2015 yang menghapuskan ketentuan tidak bolehnya anak, saudara, maupun orangtua dan kepala daerah sebelumnya untuk kembali mengikuti kontestasi.
Berlandasakan itu pula, dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; tidak ada larangan lagi mengenai majunya pasangan calon dari dinasti politik. Â Terbukti, hal tersebut terlihat jelas pada Pilkada Serentak 2017 yang melibatkan 12 kandidat dari keluarga petahana atau tokoh politik. Angkanya kemudian menurun 25% menjadi 9 calon kepala daerah pada tahun ini.
Kepentingan Pribadi