Mohon tunggu...
Ahada Ramadhana
Ahada Ramadhana Mohon Tunggu... -

Ngewarta di brilio.net, stay di Yogyakarta sejak 2010.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengendalikan Raga

27 Mei 2013   22:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:56 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mari kita bercermin. Melihat realitas seperti apa yang sedang melekat pada diri pribadi masing-masing kita. Seberapa mampu kita mengarahkan raga menapaki jalan Rabby. Kekuatan nafsu sungguh luar biasa besar melanda, namun sikap berbasis keakalan-kalkulasi yang matang akan mampu membendung keliaran nafsu yang sedang mengendalikan raga kita. Tinggal bagaimana kita menyediakan pikiran di setiap kesempatan sebelum menempuh jalan-jalan yang pasti mengandung resiko, dengan serta kecil besar muatannya.

Kita dengan segala kemelut asa dan kegundahan jiwa akibat selalu diterjang derasnya gangguan nafsu akan melahirkan output yang bagi orang lain akan menjadii penilaian mereka pada diri kita bahwa sifat/ karakter kita adalah seperti ini dan seperti itu . Di setiapnya akan ada sikap yang mau tak mau harus kita ambil. Apakah ketepatan sikap yang diambil pasti yang bersesuaian dengan keinginan hati kita? tentu tidak selalu. Apa yang Allah berikan kepada setip jiwa ciptaan-Nya adalah yang terbaik, dan tidak selalu mampu dicerna manusia atas hikmah di baliknya. Apakah setiap sikap yang diridhoi Allah dapat kita peroleh atas kebetulan semata? tentu juga tidak. diperlukan kematangan konsep pemikiran dan perhitungan, strategi dan perencanaan, keberanian dan keyakinan.

Dari setiap yang nampak dari kita akan melahirkan persepsi dari pihak luar, entah mereka yang simpati ataupun mereka yang anti. Bagi mereka yang anti, setiap sikap yang kita ambil adalah cela. Namun bagi mereka yang simpati setiap gerak kita adalah puja. Begitulah romantika dunia. Persepsi dan persepsi deras bermunculan. Kebijaksanaan dalam menghadapinya adalah penting adanya. Apa kita akan selalu bersedia untuk mengikut apa yang masyarakat inginkan terhadap diri kita? Memang ini artinya masyarakat masih menaruh harap pada kita, namun harapan tersebut saya rasa terlalu berlebihan, sebab sampai-sampai kita didikte harus bertaklid seperti apa kata mereka. Ataukah kita tidak mau selalu mengikuti setiap keinginan masyarakat tentang diri kita, tapi kita harus mampu melakukan yang terbaik dalam situasi yang sedang dijalani pada tiap-tiap masanya.

Relakah kita menjadi pribadi dengan identitas yang lebih berat salahnya ketimbang benarnya? Sudikah kita lebih sering menjumpai ketidak nyamanan kondisi sebab tidak tepat memilih sikap? Lalu kembali lagi, kita harus menyukakan diri membicarakan pilihan sikap. sebab memang itulah hidup, berisi tentang pengambilan keputusan dan pemilihan bersikap. hidup adalah kontribusi. dan jika kita merunut pada pernyataan Soetrisno Bachir maka "hidupadalah perbuatan".

Lalu, pilihan sikap setelah mengambil sikap juga penting dipertimbangkan. setelah kita tahu bahwa kita salah mengambil sikap, lalu apa yag akan kita lakukan. Pun sesudaah kita tahu bahwa pilihan sikap kita benar lantas apa yang akan kita perbuat. Semuanya perlu dipikirkan dan direncanakan.

Sudahkah kita menyertai setiap laangkah kehidupan dengan kesadaran. ataukah sedikit sekali sikap yang kita tempuh itu disertai kesadaran, hanya dipenuhi dengan spontanitas dan dengan ketidaksadaran -seperti refleks dan telah ada yang menggerakkan. sudahkah kita bersikap dengan kepiawaian mengelola hidup, bukannya kita yang dikelola oleh kehidupan dan menjadi budaknya? sudahkah kita dalam mengambil langkah-langkah ini menjunjung tinggi anugerah yang hanya allah berikan pada kita makhluknya bernama manusia (akal) sebagai jembatan mematuhi perintah dan larangan?

Atau mungkin sebagian besar gerak kita masih dikendalikan faktor-faktor eksternal. Sanggupkah kita menengahi pertikaian antara akal dengan nafsu dan mengambil ketegasan pilihan? ataukah kita rela nan pasrah dikungkung nafsu dikangkangi setan?

Sudahah kita memenangkan pertikaian intrinsik yang sudah klasik ini, mengutamakan akal ketimbang nafsu? Dirimu lebih tahu tentang pribadimu kawan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun