Saat beliau mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, terdengar teriakan massa dari luar masjid. Sontak aku menoleh ke belakang. Terlihat olehku se-kumpulan orang memegang ber-aneka ragam benda keras di tangan mereka.
" Bukankah itu gus Abduh? Sebenarnya apa yang beliau lakukan?" batinku.
Gus Abduh tampak berdiri menghadap  kerumunan orang di depan masjid.
" Saya telah mendapat ketidak adilan di dalam pembagian warisan. Sekarang ini memang banyak kaum feodal yang bersembunyi di balik topeng agama. Termasuk si Shabirin. Sebenarnya dia ingin menjadi tuan tanah yang kaya raya dengan memanfaatkan pesantrennya itu." Gus Abduh teriak berapi-api.
Gerombolan itu ikut berteriak.
" singkirkan Kyai munafik! Singkirkan penghianat tali persaudaraan." Gerombolan itu mulai mengepalkan tinju ke udara.
Aku juga para santri lainnya dibuat bingung dengan kejadian itu. Aku tidak mengerti apa yang Gus Abduh bicarakan. Bukankah lebih kalau beliau berpidato masalah agama, sebagaimana Kyai Shabirin. Sepertinya ujaran kebencian yang beliau ucapkan. Ada apa ini?
Kyai Shabirin yang mengetahui itu segera menghampiri kakaknya, namun tak sempat sampai, beliau langsung dibekuk tangannya oleh dua orang yang tak ku kenal. Mungkin teman dari Gus Abduh. Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena gerombolan itu akan mengacungkan balok kayu, saat kami melangkah maju.
" Apa-apaan ini kak? " beliau berusaha memberontak sekuat tenaga, tapi sia-sia.
" Itu hukuman karena kau telah menghasut abah. Kau sengaja mengambil hati abah, supaya dapat menguasai ladang." Sahutnya dengan disambung gelak tawa.
Hatiku merasa terbakar saat melihat Kyai Shabirin digelandang ke ladang sawah, layaknya binatang.