Percakapan berakhir. Rasa iri telah hadir dan mungkin akan berubah menjadi kebencian yang luar biasa.
Pertalian persaudaraan mereka berdua memburuk. Kyai Adnan yang meninggal beberapa hari yang lalu menyebabkan keretakan hubungan antar saudara semakin menjadi-jadi. Pasalnya, Gus Abduh tidak puas dengan hasil pembagian warisan. Sawah berhektar-hektar itu malah Sebagian besar milik pesantren yang kini dipangku adik kandungnya itu. Padahal dia butuh dana lebih untuk membesarkan organisasinya itu. Â Baginya organisasi adalah segalanya.
***
Senja itu Kyai Shabirin berjalan bersama seluruh santrinya menuju sawah. mereka berjalan dengan wajah berseri-seri karena acara yang ditunggu-tunggu akan segera mulai. Bukan memanen yang akan mereka lakukan, tapi permainan pukul jerami antar sesama santri. Biasanya permainan ini hanya dilaksanakan se-pekan satu kali, tepatnya pada setiap senin sore.
permainan akan mulai dikala senja mulai tiba, untuk menjadi penghibur di sela-sela padatnya kegiatan, satu persatu dari santri berkesempatan untuk menunjukkan kebolehannya.
 Batang padi ditumpuk menjadi gundukan, serta mengikat jerami untuk dijadikan senjata pukulan. Siapa yang roboh dialah yang kalah. Sedangkan di sekitarnya terdapat lumpur tanah.
Kyai bersorak memberi semangat. Para santri tak kalah hebohnya. Semua saling meneriakkan nama yang mereka dukung. Itu adalah laga terlama di sore ini. Dengan bermandikan keringat, kedua santri itu layaknya seorang petarung, sesekali memukulkan jerami dengan tangan kanan dan menangkis dengan tangan kirinya. Mereka berusaha menjatuhkan satu sama lain. Teman di asrama, tapi musuh di arena. Hingga salah seorangnya terpeleset dari gundukan batang padi dan terjerembab ke lumpur. Sontak semua tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah yang hitam legam terkena lumpur. Kyai Shabirin sendiri tertawa sambIl menutup wajahnya dengan surban yang sedari tadi terpasang di lehernya.
 Mereka bergegas pulang saat senja hampir tiada. Mereka merasa senang dan terus berharap dapat lebih lama menikmati suasana senja. Esok, lusa dan seterusnya!
***
Waktu itu masih puku 15:30. Semua santri larut dalam lantunan wirid shalat ashar yang dipimpin oleh Kyai Shabirin sendiri di masjid pesantren. Semuanya khusu' mengharap tuhan memberikan takdir terbaiknya.
Aku tidak sabar menunggu lantunan wirid cepat selesai, sebab senja ini giliranku beradu ketangkasan di atas gundukan batang padi. Aku berharap lawanku tidak terlalu kuat, agar aku bisa dengan mudah menyingkirkannya.