Mohon tunggu...
aku saja
aku saja Mohon Tunggu... -

hidup di dunia hanya sesaat maka manfaatkan apa yang kita miliki untuk sebanyak-banyaknya manfaat untuk sebanyak-banyak umat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hampir Masuk Ambulan Karena Diserempet Supir Ambulan

6 Maret 2011   19:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:01 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini aku diserempet. Tidak tanggung-tanggung. Diserempet mobil ambulan pula. Bukan maksud hati untuk tidak mengindahkan sirene yang dibunyikan. Okelah, akan saya ceritakan kronologinya. Saat itu saya sedang dalam perjalanan dari arah sebuah rumah makan demi mencari makan malam. Kali ini tidak berjalan kaki seperti biasanya. Sebuah sepeda resmi menemani saya sejak seminggu yang lalu. Akhirnya, saya memutuskan membeli sebuah sepeda dengan berbagai pertimbangan. Seharusnya keputusan ini sudah saya lakukan sejak setahun yang lalu. Tapi, toh saat ini juga masih belum terlambat. Karena saya masih punya kurun waktu sekitar 1,5 tahun lebih (mudah-mudahan) untuk menjadi perantau di negeri ini.

Setelah melintasi jalan utama, saya pun berbelok ke arah kanan. Sebetulnya jalur yang saya tempuh lebih jauh. Namun saya memilihnya karena jalan tersebut sudah beraspal. Jalur tersebut adalah jalur utama arah menuju kampus saya dari arah town. Ketika saya berbelok, secara otomatis saya pun memasuki lingkungan kampus dari pintu masuk utama yang terbagi menjadi dua arah dandipisahkan oleh jajaran tanaman pagar setinggi pinggang sepanjang ruas jalan. Ruas jalan sebelah kanan digunakan untuk kendaraan roda empat (pribadi maupun angkutan) untuk masuk sedangkan ruas jalan sebelah kiri biasanya dipakai dala-dala (sebutan umum disini untuk angkot) dari pangkalannya untuk keluar. Kebetulan juga bahwa pintu gerbang utama rumah sakit berada hanya beberapa puluh meter dari pintu masuk kampus. Maka jalan tersebut pun menjadi jalan utama bagi mahasiswa, pasien, pengunjung, pedagang, pendeta dan sebagainya sesuai hajat mereka di lingkungan kampus.

Okelah, saya mencoba berbaik sangka. Mungkin sang sopir sedang terburu-buru. Dari tampang ambulan tersebut, saya menyimpulkan bahwa ambulan tersebut milik rumah sakit lain. Namun dari pengamatan saya, bahkan saya yakin orang-orang yang kebetulan berada atau melintas di tempat tersebut, tahu bahwa ambulan tersebut berjalan dengan kecepatan yang standar. Ditambah dengan kenyataan lain bahwa tak ada kendaraan lain yang datang dari arah berlawanan di ruas jalan yang sama pada waktu yang bersamaan. Kenyataan lain, ambulan tersebut membunyikan sirenenya, sesaat setelah saya belok. Kentara sekali nadanya demi mencara perhatian saya. Kalau tidak, tentunya sirene sudah meraung-raung dari jauh. Tanpa diklakson atau sirene pun saya tahu betul kalau saya harus menepi dan membiarkannya melintas mendahului saya. Apalagi ini mobil ambulan yang jelas-jelas ikut andil dalam menentukan nasib pasien yang berada di dalamnya. Namun tepi jalan tersebut diberi batas dari semen setinggi sekitar 10-15 sentimeter untuk memisahkan bagian jalan utama yang beraspal dengan bagian jalan paling pinggir yang masih berupa tanah. Maka saya pun tak bisa menepi sampai mepet pet kecuali menaikkan sepeda saya melewati batas tersebut. Sebuah aksi yang cukup berisiko kalau tidak diperhitungkan dengan cermat. Padahal perkiraan saya mengatakan bahwa insiden tersebut tak perlu terjadi seandainya sang sopir mau sedikit saja mengarahkan ambulannya ke tengah jalan. Lebar jalan tersebut bahkan amat sangat memadai untuk dilalui sebuah mobil macam Land Cruiser dan sebuah sepeda motor semi-Harley dari arah yang sama atau berlawanan pada ruas jalan yang sama. Saya berani memperkirakan demikian karena memang pernah melihat faktanya. Maka saya sampai tak mampu berkata-kata saking tak habis pikir akan apa yang melintas di benak sang supir berkulit hitam tersebut yang dengan sengaja memepet saya.

Saya jadi teringat saat gathering menjelang detik-detik pergantian tahun beberapa bulan yang lalu bersama rekan-rekan sesama perantau setanah air di Dar Es Salam. Seorang gadis berdarah Batak didaulat Pak Dubes untuk melontarkan beberapa patah kata karena beberapa hari setelah acara tersebut ia akan kembali ke Indonesia karena tugasnya sebagai aktivis penyuluh AIDS di negeri ini sudah selesai. Maka berceritalah ia tentang kejadian yang serupatapi tak sama dengan yang saya alami. Dengan setting yang hampir sama, jalan segede gaban, ia bahkan mengalami hal yang lebih parah daripada saya. Saat itu ia sedang berjalan kaki sehabis melakukan kunjungan home visit. Saat itu, entah kenapa ia merasa lemah. Pada saat yang bersamaan, dari arah yang berlawanan, sebuah dala-dala melintas. Gadis itu berpikir semoga sang sopir paham bahwa saat itu ia tak mampu menepi karena kondisi fisiknya yang tiba-tiba tak bersahabat. Namun apa lacur, sang sopir bukannya menghindar, justru malah menerobosnya tanpa ampun. Hajar bleh. Maka jadilah gadis itu korban tabrak lari yang kemudian menjadikannya penghuni rumah sakit selama beberapa hari. Meski tak mendapat luka serius, tetap saja menjadikan saya, yang saat itu menjadi pendengar, tak habis pikir akan pola pikir sang sopir.

“Maka saya pun berkesimpulan, orang sini tipenya siapa cepat dia dapat. Kalau tak minggir, ya sudah kena risiko ditabrak. “ Demikian kurang lebih curhat guyonnya sambil tersenyum. Para pendengar pun tertawa meski sebenarnya ikut prihatin.

Jadi sekarang giliran saya yang mendapatkan pengalaman tak enak ini. Sebelum saya memutuskan membeli sepeda gunung. Pengalaman dua tahun menjadi perantau di sini lebih tak menyenangkandalam hal menjadi penjalan kaki. Entah berapa ratus kali saya dipepet mobil atau taksi saat sayaberjalan sendirian dan kebetulan jalan sedang sepi dan bukan pada malam hari (biasanya siang bolong atau sore hari saat saya pulang dari kampus). Cuma biar saya sedikit menoleh atau menjawab sapaan iseng para sopir taksi atau pemilik kendaraan pribadi bertampang negro tersebut. Karena selama ini saya selalu jalan kaki dengan tatapan ala tentara demi menghindari sapaan penduduk setempat yang iseng bin tak jelas dan perangainya kebanyakan UUD (ujung ujungnya duit). Yang saya heran, kenapa kalau yang bertampang keturunan Arab atau India, mereka tak diperlakukan demikian meski sebagai sesama pejalan kaki? Apa karena mereka sudah menjadi penduduk dan warga negara? Padahal selama ini saya seringkali dikira salah satu dari mereka (ya iyalah, sama-sama tampang Asia). Entahlah. Mungkin rumput yang bergoyang tahu jawabannya.

Seorang laki-laki yang kebetulan lewat dan menyaksikan saya yang kebingungan setelah ambulan berlalu tanpa dosa, hanya mampu mengatakan “pole”. Sebuah sapaan yang artinya “maaf”dalam artian hanya sekedar bersimpati atas kejadian yang barusan aku alami. Aku bahkan tak mampu menjawab. Saking bingungnya mau marah atau terkejut. Tak kubayangkan seandainya aku mengalami efek yang lebih parah sampai-sampai harus diangkut ambulan ke rumah sakit yang kebetulan jaraknya hanya beberapa puluh meter dari tempat kejadian tersebut. Alangkah tak lucunya kalau sampai aku masuk rumah sakit dengan keterangan: diangkut ambulan gara-gara diserempet sopir ambulan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun