Mohon tunggu...
Fajar Muhammad Subchan
Fajar Muhammad Subchan Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Menulis, menyelam, menjelajah!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Diet Satu Paragraf

25 September 2015   03:39 Diperbarui: 25 September 2015   03:39 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya termasuk yang menduga-duga bahwa pepatah jawa “Urip mung mampir ngombe – hidup hanya mampir minum” itu dicetuskan oleh para pengusaha, atau setidaknya pujangga yang pengusaha. Kehidupan para pengusaha, pedagang dan salesman memang dipenuhi dengan minum-minum, atau istilah saya ngopi. Entah itu ngopinya di ruang rapat maupun di warung kopi. Nah, kalau misalnya yang mencetuskan pepatah itu tim admin mungkin jadinya akan berbunyi “Urip iku mung mampir ngeprint’. Beda kalau yang mencetuskan generasi sekarang, mungkin bunyinya adalah “urip iku mung sak dermo nyetatus” “mung mampir ngetuit”, atau “mung mampir broadcast

Saya bersyukur bahwa akhirnya jadi #sepertiitu, urip mung mampir ngombe-kopi. Dijaman yang serba sepotong-sepotong ini ngopi adalah sarana pencerahan yang luar biasa, ide yang disampaikan lebih utuh, dan mendapat tanggapan yang juga tak kalah utuh. Saat ngopi, diskusi tidak akan kehilangan konteks. Tidak akan dipotong satu paragraph tertentu lalu dicampur kopi untuk kemudian digunakah menjatuhkan presiden #eh.

Di masa yang penuh huru hara hashtag ini, bagaimana sepotong #kebenaran bisa diterima oleh pasar? Informasi yang sama, di wall facebook atau twitter, akan cenderung muncul berkali-kali, menjadi viral, lalu secara tak sadar mendoktrin alam bawah sadar, dan berubah menjadi kebenaran viralis. Sepotong virus advertorial yang diterima sebagai kebenaran.

“#Kebenaran” juga punya teknik untuk lebih mudah diterima, dan lebih mudah dijadikan viral. Di media sosial, ide-ide sepotong, yang biasanya kehilangan konteks, akan sangat mudah diterima dan diviralkan jika divisualkan dengan gambar. Menurut Ekaterina Walter & Jessica Gioglio, dalam “The Power Of Visual Story Telling”, Otak Manusia Memproses Informasi Visual 60.000 kali Lebih Cepat dari pada Informasi Tertulis. Barangkali itu sebabnya banyak viral yang muncul dengan tampilan visual berupa gambar dan sepotong kalimat yang dipersepsikan sebagai kebenaran. Karena dengan tampilan seperti ini, ribuan orang akan dengan suka rela membroadcastnya. Seraya berharap surga.

Jika informasi dan opini di dunia maya kita analogikan sebagai keping-keping kekayaan, maka tentulah para blogger dan viral maker seperti Iqbal daryoko dan Agus koto ini yang tiap hari ribut di wall saya dengan segala doktrinnya, adalah milyardernya, yang mengontrol begitu banyak informasi dan opini. Sedang orang-orang seperti saya ini semacam pegawai outsourch nya, yang bertugas me-like dan men-share, lalu setelah itu merasa sudah berjihad.

Pada akhirnya saya percaya bahwa kita harus sering-sering #ngopi, untuk menjaga perspektif tetap sehat, sehingga tidak mudah dirayu hoax. Berita hoax itu seperti lemak jahat. Sesekali kita perlu berpuasa dan diet informasi.

@akun_fajar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun