Industri rokok di Indonesia selalu menjadi perbincangan pelik, terutama ketika berbicara tentang relasi antara politik kesehatan dan politik ekonomi. Sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India, Indonesia menanggung beban ganda. Di satu sisi, cukai hasil tembakau menjadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan negara, yaitu mencapai Rp. 218,9 triliun pada 2023 menurut data Kementerian Keuangan. Namun di sisi lain, biaya kesehatan akibat penyakit terkait tembakau mencapai Rp. 185 triliun per tahun (BPJS Kesehatan, 2022). Angka ini memperlihatkan paradoks, apa yang negara peroleh dari cukai nyaris habis untuk menutup ongkos kesehatan masyarakat.
Politik kesehatan menekankan perlindungan masyarakat dari dampak buruk rokok, baik melalui regulasi iklan, pembatasan ruang konsumsi, maupun kenaikan tarif cukai. Namun, politik ekonomi menempatkan industri rokok sebagai pilar penting penyokong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekaligus penopang lapangan kerja. Sekitar 5,8 juta orang menggantungkan hidup pada ekosistem rokok, mulai dari petani tembakau, buruh pabrik linting, distribusi, hingga sektor informal. Tarik-menarik kepentingan inilah yang menempatkan pemerintah pada posisi sulit, yakni dengan menjaga kesehatan publik tanpa meruntuhkan basis ekonomi yang besar.
Dalam teori politik publik, situasi ini disebut dilema policy trade-off, yaitu pilihan sulit antara dua kepentingan yang sama-sama penting. Teori public choice dari Buchanan & Tullock menegaskan bahwa kebijakan negara tidak pernah netral, selalu dipengaruhi kepentingan politik maupun ekonomi. Dalam politik kesehatan, pemerintah sering berada di tengah tarik-menarik, di satu sisi ada kelompok advokasi kesehatan yang menuntut aturan ketat demi melindungi masyarakat, di sisi lain ada industri dan pekerja yang menolak kebijakan terlalu keras karena bisa mengancam usaha dan mata pencaharian. Negara dituntut mencari titik seimbang yang adil.
Benturan Kepentingan  Â
Â
Kebijakan kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen hingga 12 persen setiap tahun sejak 2018 sering disebut sebagai langkah politik kesehatan pemerintah. Logikanya sederhana, harga rokok dibuat semakin mahal agar orang berpikir dua kali sebelum membeli. Harapannya, konsumsi rokok berkurang, terutama di kalangan anak dan remaja. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan adanya penurunan prevalensi perokok anak usia 10--18 tahun, dari 9,1 persen pada 2018 menjadi 8,6 persen pada 2023. Penurunan ini memang terlihat kecil, tetapi bisa dibaca sebagai sinyal positif bahwa kebijakan cukai memberi efek meski perlahan. Namun, laju penurunannya masih terlalu lambat bila dibandingkan dengan target besar pengendalian rokok. Artinya, kebijakan ini perlu diperkuat dengan strategi lain, seperti kampanye pendidikan publik, pengetatan iklan rokok, serta pengawasan distribusi agar perlindungan terhadap anak dan generasi muda lebih efektif.
Namun, di sisi lain, industri kecil dan menengah yang memproduksi rokok kretek manual justru semakin tertekan. Data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menunjukkan sekitar 2.000 pabrik rokok kecil gulung tikar dalam satu dekade terakhir. Mayoritas korban adalah industri kretek tangan yang justru menyerap banyak tenaga kerja perempuan di pedesaan. Sementara itu, perusahaan multinasional dengan mesin modern relatif mampu bertahan karena lebih efisien. Fenomena ini memperlihatkan kontradiksi politik ekonomi. Alih-alih sekadar menekan konsumsi, kebijakan cukai justru mempercepat konsolidasi pasar rokok oleh segelintir perusahaan besar. Dari perspektif teori ekonomi politik, situasi ini dapat dibaca dengan konsep state capture, Hellman, 2000, yakni kondisi ketika kebijakan negara cenderung menguntungkan kelompok industri besar yang memiliki daya lobi lebih kuat dibandingkan usaha kecil.
Lebih jauh, tumbangnya pabrik rokok kecil juga memiliki implikasi sosial. Buruh linting, yang mayoritas perempuan dengan tingkat pendidikan rendah, kehilangan pekerjaan. Pilihan kerja alternatif sangat terbatas, sehingga menambah angka pengangguran di daerah penghasil tembakau. Artinya, politik kesehatan yang hanya fokus pada cukai tanpa strategi diversifikasi industri menciptakan masalah sosial baru.
Ruang Tengah yang Terabaikan
Â
Sejatinya, politik kesehatan dan politik ekonomi tidak harus dipandang sebagai dua hal yang saling bertentangan. Keduanya bisa berjalan seiring jika negara mampu merumuskan jalan tengah yang adil. Salah satu caranya adalah dengan pendekatan transisi industri. Uni Eropa, misalnya, berhasil membantu petani tembakau beralih ke komoditas lain melalui subsidi pertanian dan program pelatihan. Langkah ini membuat petani tidak kehilangan mata pencaharian, sementara kebijakan kesehatan tetap berjalan. Indonesia sebenarnya punya peluang besar untuk melakukan hal serupa. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang nilainya mencapai Rp. 4,6 triliun pada 2023 dapat dialokasikan lebih strategis. Bukan hanya untuk pengawasan, tetapi juga untuk mendukung program transisi ekonomi bagi petani, buruh pabrik, dan masyarakat terdampak. Dengan begitu, pengendalian rokok tidak sekadar menekan konsumsi, melainkan juga memberi jalan keluar ekonomi yang lebih berkelanjutan bagi semua pihak.