Mohon tunggu...
Akma Lia
Akma Lia Mohon Tunggu... mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

MENIMBANG ULANG TAFSIR; WARISAN PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZHIER di ERA MODERN

29 Juni 2025   15:57 Diperbarui: 29 Juni 2025   15:57 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menimbang Ulang Tafsir: Warisan Pemikiran Ignaz Goldziher di Era Modern

Dalam dunia studi Islam modern, nama Ignaz Goldziher bukan sekadar dikenal, ia nyaris menjadi semacam tonggak awal bagi pendekatan kritis terhadap khazanah intelektual Islam. Meski ia bukan seorang Muslim, ketekunan Goldziher dalam mempelajari sumber-sumber primer, termasuk berbagai tafsir Al-Qur'an klasik, membuat pemikirannya terus diperbincangkan hingga kini. Ia bukan hanya membaca Al-Qur'an, tapi menyelami cara umat Islam menafsirkan wahyu tersebut sepanjang sejarah, dari tafsir yang paling normatif hingga yang sarat muatan ideologis.

Salah satu gagasan penting Goldziher yang kerap diangkat adalah pandangannya bahwa tafsir bukanlah cermin netral dari teks suci. Menurutnya, tafsir adalah medan kontestasi makna, tempat berbagai mazhab, pandangan teologis, bahkan kepentingan politik saling berkelindan. Dalam karyanya yang terkenal, "Die Richtungen der islamischen Koranauslegung", ia memetakan aliran-aliran tafsir dalam Islam sebagai ekspresi dari keragaman dan ketegangan internal umat Islam sendiri. Tafsir tidak pernah lahir dari ruang hampa; ia dibentuk oleh konteks, pengalaman, dan dinamika sosial-politik sang mufassir.

Apa yang dikatakan Goldziher lebih dari seabad lalu, nyatanya masih sangat terasa relevansinya hari ini. Kita hidup di era ketika ayat-ayat Al-Qur'an bisa dengan mudah dikutip, disebarkan, bahkan dipelintir di media sosial tanpa konteks. Dalam situasi seperti ini, pendekatan kritis terhadap tafsir menjadi sangat penting. Kita perlu bertanya: tafsir ini lahir dalam konteks apa? Apa latar belakang mufassirnya? Apakah ia sedang merespons konflik sosial, memperkuat posisi politik tertentu, atau menjawab kebutuhan zamannya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini justru membuka ruang pemahaman yang lebih luas dan manusiawi terhadap Al-Qur'an.

Namun, pendekatan Goldziher tentu tidak bebas dari kritik. Ia kerap dianggap terlalu fokus pada dimensi polemik tafsir, seakan-akan seluruh warisan tafsir hanya berisi pergulatan kepentingan belaka. Padahal, dalam banyak kasus, para mufassir juga menulis dengan semangat spiritualitas yang dalam, dengan kerendahan hati terhadap makna wahyu. Tafsir bukan hanya tentang siapa yang benar dalam politik teologi, tetapi juga bagaimana manusia mendekat kepada Tuhan melalui makna teks.

Meski demikian, kita tidak bisa menampik bahwa Goldziher telah membuka jalan penting: bahwa membaca Al-Qur'an tak cukup hanya dari teksnya saja, tapi juga dari sejarah bagaimana umat Islam membacanya. Inilah yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh pemikir seperti Nasr Hamid Abu Zayd. Ia menekankan bahwa teks suci dan pembaca saling berinteraksi. Tafsir adalah proses historis, dan karena itu, makna yang dikandungnya juga bisa berkembang sesuai konteks zaman. Abu Zayd tidak sekadar mengikuti Goldziher, tapi berdialog dengannya, menerima pendekatannya yang kritis, namun mengisinya dengan empati terhadap pengalaman religius umat Islam.

Kita yang hidup di abad 21, dengan segala kompleksitas sosial dan tantangan pemikiran, tentu tidak bisa membaca tafsir klasik seperti membaca buku petunjuk yang siap pakai. Kita perlu menggali latar belakangnya, memahami motif dan struktur berpikir para mufassirnya, lalu membawanya dalam dialog dengan realitas kekinian. Pemikiran Goldziher, dalam hal ini, menjadi pengingat yang penting: bahwa wahyu memang ilahi, tetapi pemahamannya selalu bersifat manusiawi.

Maka, alih-alih memandang Goldziher sebagai "musuh Islam" seperti yang dulu sempat dituduhkan sebagian kalangan, akan lebih adil bila kita menganggapnya sebagai seorang intelektual yang mengajak kita berpikir ulang. Bukan untuk meragukan agama, tapi untuk mematangkannya. Kita tak harus setuju dengan semua kesimpulan Goldziher, tapi semangatnya untuk menelaah tafsir secara serius dan terbuka, justru sangat cocok dengan semangat Al-Qur'an sendiri: afal tatafakkarn, maka tidakkah kalian berpikir?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun