Mohon tunggu...
Akmal Bahtiar
Akmal Bahtiar Mohon Tunggu... -

Mengenal lebih dekat saya di www.akmalbahtiar.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kids Zaman Now, Alay Mengenaskan yang Doyan 'Nyampah' di Media Sosial

9 November 2017   20:35 Diperbarui: 10 November 2017   06:47 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini, jika kita aktif dan amati, banyak remaja memanfaatkan akun sosial media mereka untuk mengungkapkan perasaannya. Salah satunya ialah curahan hati seorang remaja dalam wujud foto maupun video yang menjadi buah bibir banyak orang, malahan bagi mereka yang tadinya awam dengan dunia media sosial (medsos). Hal ini juga tentu saja akan membuat para orang tua merasa was-was dan khawatir. Ini juga membuat kita bertanya-tanya apakah para remaja ini sudah sedemikian terbuka di akun sosial media mereka? 

Faktanya memang demikian, kita semua bisa menyaksikan. Seandainya ditelusuri, akun para remaja ini kebanyakan diisi dengan ungkapan emosionil mereka mulai dari sedih, geram dan bahagia. Bagi kita orang dewasa, mungkin merasa risih sebab ada hal-hal yang mesti orang lain tak perlu tahu juga diunggah oleh para remaja di sosial media. Walaupun memang banyak literatur yang menuliskan masa remaja sebagai masa yang penuh gejolak emosi. Kata-kata seperti moody, gundah atau labil hingga sering menuliskan kata kata bijak kerap digunakan untuk membuktikan fenomena perkembangan emosional pada remaja. 

Di masa peralihannya buah hati dari kanak-kanak hingga menjadi dewasa, seseorang seharusnya melalui masa remaja di mana terjadi perubahan tidak hanya jasmani, tetapi juga emosi dan berimbas pada sosialisasinya. Perubahan ini dipengaruhi munculnya hormon pertumbuhan yang bertugas menyiapkan jasmaniah remaja untuk berubah di kala ia memasuki masa pubertas.

Hormon ini tidak membawa perubahan jasmani saja namun juga berdampak secara emosionil. Remaja jadi mudah berubah-ubah perasaannya. Sebentar kesal/bete, lalu tak lama kembali senyum-senyum sendiri. Hanya dengan hal-hal sepele mereka mudah tersinggung tapi belum tentu merupakan suatu hal yang perlu dibesar-besarkan bagi orang di sekitarnya.

Selain disebabkan oleh unsur hormonal, perkembangan pada otak anak remaja juga turut andil dalam menempatkan remaja sebagai makhluk emosional. Sampai usia 20 nanti, ada komponen otak remaja yang belum sempurna terwujud. Bagian ini (prefrontal cortex) membantu seseorang mengerjakan pengerjaan berpikir yang lebih kompleks seperti pengerjaan pengambilan keputusan. Selama komponen otak ini belum sempurna, remaja sangat rentan terpancing untuk mengambil keputusan menurut emosionil sehingga kurang memastikan konsekuensi baik buruk yang dapat dia terima dari keputusan atau tindakannya.

Pada sisi lain, 'kids jaman now' yang menginjak masa pubertas merupakan masa di mana ketika individu sedang mencari posisi di tengah lingkungan sosial, membutuhkan rekognisi dan pemahaman dari lingkungan sekitarnya. Dengan gejolak yang tengah mereka natural, seringkali tidak gampang memahami dan menghadapi remaja, secara khusus bagi orang tua. Alhasil usaha komunikasi kerap mandek di tengah jalan dan orang tua menyerah sehingga buah hati mencari lingkungan lain yang lebih nyaman baginya.

Oleh sebab merasa tak diterima dan tidak dipahami, remaja menjadi rentan untuk 'terjebak' dalam lingkungan lain di mana mereka seolah bisa menemukan dengan mudah orang-orang yang dapat memahami dan berkeinginan mendapatkan mereka serta malahan mensupport apa yang mereka lakukan. Lingkungan lain itu di era sekarang ini amat dekat dijangkau si kecil, yakni via gadget yang mereka miliki.

Di era sekarang ini, teknologi komunikasi yang praktis dan canggih seperti gadget telah menjadi bagian dalam kehidupan kita sehari-hari termasuk remaja. Ke mana pun kita pergi, telah tidak asing melihat remaja semacam itu amat lekat dengan gadget mereka masing. Sebagian penelitian menyatakan rata-rata remaja di Asia atau pun Amerika Serikat mengakses sosial media lebih dari lima jam sehari mencakup untuk keperluan menonton sampai mengerjakan interaksi di dunia maya seperti mengakses media sosial atau melaksanakan chatting (Santrock, 2010).

Lekatnya remaja dengan sosial media ini sayangnya kurang diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran akan etika dalam berperilaku di dunia maya. Banyak anak remaja yang tidak menyadari akan risiko atau bahaya yang dapat menimpa mereka di kala mereka berkelana di dunia sosial media. Semisal, banyak yang belum menyadari bahayanya memberikan data pribadi secara terbuka di sosial media.

Biasanya, remaja merasa bahwa sosial media adalah sebuah ruang lingkup pribadinya karena mereka masuk dari gadget yang mereka punya dan mengakses dari lingkungan pribadi mereka sendiri (dari kamar tidur mereka sendiri, umpamanya). Hasilnya mereka merasa bebas menguploadapa saja tanpa menyadari risikonya.

Nah, sekarang apa yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mengatasi fenomena ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun