Mohon tunggu...
Akmal Husaini
Akmal Husaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka menjaga kebersihan

kebersihan sebagian dari iman. Karena itulah jadilah pribadi yang bersih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hati-Hati, Jangan Pernah Percaya NII

16 Oktober 2021   10:46 Diperbarui: 16 Oktober 2021   10:55 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Waspada NII - kompas.tv

Dalam sebuah wawancara, Ali Imron, pelaku peledakan bom Bali I mengatakan, hati-hati dengan NII. Jika memasukkan anaknya di pesantren, tolong di cek apakah pesantren tersebut mempunyai afiliasi dengan NII atau tidak. Jika ada afiliasi dengan NII, kata Ali, lebih baik tidak usah dimasukkan ke pesantren tersebut. Karena besar kemungkinan akan mendapatkan paham radikalisme. Karena dirinya dulu juga merupakan salah satu mantan anggota NII.

Pengakuan diatas perlu kita jadikan kewaspadaan sekaligus perhatian serius. Terlebih baru-baru ini puluhan orang di Garut Jawa Barat, diduga telah dibaiat oleh NII. Dalam salah satu doktrinnya disebutkan bahwa pemerintahan Indonesia adalah thogut. Ini artinya, pemerintah Indonesia bagian dari kafir yang harus diperangi. Kenapa pemerintah dianggap thogut? Karena menerapkan sistem demokrasi. Sistem yang dianggap produk barat, yang tidak boleh diikuti. Barat dianggap sebagai musuh sejak dari dulu. Tak heran jika para pelaku bom dulu lebih sering meledakkan di tempat-tempat yang identik dengan barat.

Paham radikal yang diadopsi jaringan teroris, umumnya menghendaki terbentuknya negeri Islam. Dan konsep ini jelas tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila, yang mengadopsi keberagaman. Seperti kita tahu, karakter Indonesia jelas berbeda dengan negara lain. Tingkat keberagaman di negeri ini jelas lebih tinggi dibanding negara lain. Tidak hanya kekayaan alam, suku, budaya, bahasa dan agama juga bermacam-macam. Keberagaman inilah yang sering ditentang para penganut NII. Alasannya mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Karena itulah Indonesia harus menjadi negara Islam.

Pandangan diatas jelas bertentangan dengan kemajemukan Indonesia, yang merupakan anugerah dari Allah SWT. Keberagaman di Indonesia bukanlah sebuah persoalan. Jangan merasa paling benar dengan adanya keberagaman ini. Jangan pernah pula merasa orang lain sebagai pihak yang salah, sampai akhirnya berujung pada tindakan diskriminatif. Sebelum menjadi diskriminatif, para penganut NII umumnya merasa paling benar dan menilai orang lain sebagai pihak yang salah, apapun itu alasannya.

Tak heran jika penganut NII cenderung intoleran dalam kesehariannya. Mereka selalu menganggap yang berbeda sebagai sesat, bahkan kafir. Dan dalam kondisi tertentu, mereka bisa melakukan perilaku intoleran yang mendiskriminasi orang yang dianggap sesat tersebut. Dan ironisnya, pembenaran yang mereka lakukan adalah dengan cara membawa ayat-ayat agama. Ketika seseorang sudah disodorkan dengan ayat. Seringkali mereka langsung mempercayainya. Padahal bisa jadi tidak benar, karena interpretasi tiap orang terhadap sebuah ayat bisa berbeda-beda.

Apa yang terjadi di Garut beberapa pekan terakhir, menunjukkan bahwa penyebaran paham radikalisme NII masih terjadi. Jika kita telisik lebih dalam, hampir semua lini kehidupan ini sudah mereka masuki. Bahkan, lembaga pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi, madrasah hingga pesantren juga sudah ada oknum NII. Karena itu, mari terus tingkatkan perhatian bersama, mari bekali diri dengan literasi yang cukup, agar tidak mudah terprovokasi sentiment-sentimen NII yang mengatasnamakan keagamaan.

Keputusan Indonesia untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Tak perlu lagi diusulkan untuk ini itu. Pancasila sudah mengadopsi hukum Islam dan agama-agama lain yang ada di Indonesia. Pancasila sudah mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal, yang tersebar dari Aceh hingga Papua. NII merupakan utopis yang tak perlu dipikirkan. Begitu juga dengan konsep khilafah yang juga sering dibawa oleh kelompok radikalis. Salam introspeksi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun