Perkembangan teknologi di era digital ini memang telah merubah segala aktifitas manusia. Pola interaksi dan gaya hidupnya pun juga ikut berubah.Â
Semuanya serba mudah. Ingin mendapatkan informasi apapun, tinggal cari di mesin pencari sudah langsung ketemu. Ingin beli barang yang diinginkan, tinggal cari di market place, juga langsung ketemu.Â
Begitu juga ketika ingin menyebarluaskan informasi, ide dan gagasan, juga sangat mudah. Tinggal di upload di media sosial, semua orang bisa langsung mengetahuinya.
Kemudahan-kemudahan itu nyatanya tidak hanya memberikan dampak positif, tapi juga dampak negatif. Salah satunya adalah maraknya unggahan status atau pendapat di media sosial yang cenderung menyudutkan, menjatuhkan atau berisi kebencian. Hal yang sepele ini kemudian terus membesar, sampai menjalar ke aktifitas lainnya. Tidak hanya status, kritik yang ditujukan ke pihak tertentu pun juga lebih sering disusupi pesan kebencian dari pada pesan yang membangun.
Kritik yang muncul belakangan ini cenderung bernuansa politis tapi juga provokatif. Misalnya, ketika pandemi pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menutup sementara aktifitas peribadahan, langsung disikapi dengan anggapan pemerintah tidak berpihak pada umat beragama.Â
Yang lebih miris lagi, pembatasan tersebut dimaknai sebagai pelarangan aktifitas peribadahan. Pandangan ini tentu tidak mendasar dan salah besar. Pemerintah tidak pernah melarang, yang ada adalah pembatasan agar penyebaran covid bisa ditekan.
Ketika ada tokoh agama yang terbukti melakukan tindak pidana lalu ditahan, tak lama kemudian muncul provokasi negara melakukan intimidasi ke ulama. Negara tidak berpihak pada ulama, dan segala macamnya. Provokasi bernuansa SARA ini belakangan memang sering muncul. Dan hasilnya, tidak sedikit dari masyarakat yang menjadi korban provokasi, dan melakukan tindakan intoleran.
Penyebaran kritik bernuansa kebencian dan provokasi di media sosial ini memang sudah mengkhawatirkan. Apalagi jika disertai dengan hoaks atau berita bohong, akan semakin mendorong terjadinya kebencian massal. Media sosial yang awalnya banyak dijadikan ruang untuk saling interaksi, kini berubah menjadi ruang untuk saling mencaci dan menebar kebencian.
Kebiasaan asal kritik ini harus diubah. Jangan asal bunyi. Mengkritik harus disertai referensi yang kuat. Kritik tanpa referensi, hanya akan menghasilkan kebingungan dan kegalauan.Â
Tidak jelas apa yang dikritik, semuanya didasarkan pada subyektifitasnya saja. Padahal, masih ada esensi yang lebih kuat tapi luput dari kritiknya mereka. Â Dan yang menyedihkan, tidak sedikit dari masyarakat yang percaya dan meyakini kritik yang provokatif ini, karena memang tingkat literasinya rendah.
Kritik harus dibangun secara cerdas. Apa maksudnya? Harus bisa meletakkan pada tempat dan konteks yang tepat. Kritik harus menggunakan logika kemanusiaan dan toleransi, agar tidak dilandasi kebencian. Kritik juga harus membangun, agar bisa memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas.Â