Mohon tunggu...
Akmal Husaini
Akmal Husaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka menjaga kebersihan

kebersihan sebagian dari iman. Karena itulah jadilah pribadi yang bersih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memahami Kearifan Lokal Sama dengan Memahami Nusantara

14 Desember 2019   09:44 Diperbarui: 14 Desember 2019   09:47 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Satu - kompasiana.com

Semestinya, kita cukup bangga tinggal di Indonesia. Semestinya, kita juga cukup senang, karena mempunyai banyak adat istiadat dan kearifan lokal yang tersebar dari Aceh hingga Papua. 

Melalui keberagaman itulah, kita jadi bisa mengenal nusantara ini sesungguhnya. Memahami kearifan lokal di masing-masing daerah, akan mengenalkan kita pada jatidiri Indonesia yang sesungguhnya.

Hampir di setiap daerah mempunyai adat istiadat sendiri. Dan dalam adat istiadat itu mengandung kearifan lokal yang bisa kita jadikan pembelajaran. Di Tual, Maluku misalnya, terdapat sebuah filosofi adat hukum Larvul Ngabal. Dalam filosofi ini menekankan pentingnya menjaga ketertiban dan toleransi antar masyarakat di Tual. 

Begitu juga di Buton, Sulawesi Tenggara. Disana dikenal falsafah Bhinci Bhinciki Kuli. Maksudnya, jika seseorang mencubit tubuhnya sendiri akan terasa sakit. Konsep inilah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kulit kita dicubit terasa sakit, maka jangan mencubit orang lain.

Hal diatas hanyalah sebagian kecil conto dari kearifan lokal yang ada. Jika dilihat dari Aceh hingga Papua, tentu jumlahnya akan semakin banyak. 

Banyak nilai-nilai luhur yang bisa kita jadikan pembelajaran bersama. Dan dari awal, masyarakat Indonesia memang sudah beragam. Dari awal sudah bisa hidup saling berdampingan satu dengan yang lain. Dari awal juga bisa saling berinteraksi, saling menghargai dan tolong menolong antar sesama.

Mari kita belajar dari sejarah masuknya Islam di tanah Jawa, yang disebarkan oleh Wali Songo. Masyarkat yang ketika itu sudah beragama Hindu, Budha dan aliran kepercayaan, tetap menerima Islam masuk. Dan ketika Islam masuk pun, juga tidak dilakukan dengan cara-cara yang mengandung unsur paksaan dan kekerasan. 

Artinya, keduanya sudah bisa saling menghargai dan menghormati sejak dari awal. Bahkan, bentuk saling menghargai itu bisa kita lihat dalam akulturasi budaya antara Islam dan Jawa, Islam dan Kristen, Islam dan Hindu, Islam dan adat istiadat lainnya. Tidak hanya dalam budaya, dalam bentuk bangunan masa lalu, akulturasi itu juga bisa kita lihat hingga saat ini.

Nah, jika dari dulu kita sudah bisa saling menghargai dan menghormati, kenapa di era yang sudah maju ini, masih ada yang secara sengaja menyebarkan kebencian? Kenapa masih ada caci maki, perseksui, ataupun tidan pidana krimina ataupun terorisme, hanya kerena perbedaan. Karena berbeda pilihan politik, bisa saling menyebarkan kebencian. Karena berbeda pandangan, seseorang bisa memutus tali pertemanan. Bahkan karena berbeda keyakinan, seseorang bisa saling persekusi ataupun menebar teror.

Mari kita saling introspeksi diri. Kenapa kita saling membenci? Sementara kita pada dasarnya makhluk sosial yang saling membutuhkan? Kenapa kita saling memukul, sementara manusia itu butuh rangkulan agar bisa saling menguatkan? Indonesia adalah negara damai. 

Nilai-nilai kearifan lokal yang telah ada sejak dulu, sesungguhnya masih relevan jika diterapkan hingga era milenial sekarang ini. Mau sampai kapan saling membenci jika hal itu jelas tidak ada gunanya? Semoga hal ini bisa jadi renungan bersama, agar kita tetap tidak melupakan sejarah Indonesia. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun