Di sebuah kampung yang tenang bernama Suka Murni, hidup seorang perempuan paruh baya bernama Sarmi. Wajahnya tak terlalu menonjol, tapi lidahnya tajam seperti pisau baru diasah. Ia dikenal sebagai upik abu---bukan karena rajin, melainkan karena selalu muncul di tengah percakapan orang dengan abu fitnah yang ia hamburkan ke mana-mana.
Sarmi punya satu keahlian: mengadu domba. Apa pun yang dilihat dan didengarnya, selalu diubah menjadi versi penuh bumbu, dibakar dengan amarah, dan disajikan hangat ke telinga korban berikutnya.
"Si Yuni bilang rendang kamu terlalu asin. Katanya, kamu tuh masak kayak belum mandi seminggu," katanya kepada Erna, sambil pura-pura menutup mulut.
Erna marah. Ia pun menegur Yuni dengan nada tinggi. Padahal Yuni tak pernah bilang begitu. Persahabatan mereka pecah seperti piring jatuh di lantai keramik.
Sarmi puas. Matanya menyipit, senyum tipisnya muncul. Ia memang menikmati kekacauan kecil di sekelilingnya. Entah kenapa, semakin banyak orang saling membenci, ia merasa semakin hidup.
Ia juga menyebarkan isu tentang Pak Ustadz yang katanya menerima amplop dari donatur hanya untuk keperluan pribadi. Padahal amplop itu digunakan untuk membelikan kitab dan membayar listrik musala.
Tapi yang paling parah, ia memfitnah Bu RT---sahabat masa kecilnya sendiri---telah berselingkuh dengan Pak RW, hanya karena melihat mereka keluar dari kantor kelurahan bersama. Padahal mereka baru saja mengurus bantuan sosial untuk warganya.
Desas-desus makin menjadi. Warga mulai tak percaya siapa pun. Suasana kampung yang biasanya hangat berubah jadi kaku dan penuh bisik-bisik. Sarmi menikmati semuanya seperti menonton sinetron drama di waktu magrib.
Namun, yang tak pernah ia duga, fitnah terakhirnya menjadi bumerang.
Suatu malam, Sarmi datang ke musala, berusaha ikut pengajian ibu-ibu, tapi tidak ada satu pun yang menyambutnya. Bahkan Ibu RT hanya menatapnya sekilas, lalu duduk di saf yang paling ujung.
Ia mendengar bisik-bisik dari belakang: