Mohon tunggu...
AKHMAD SUYUTHY AZZAKI
AKHMAD SUYUTHY AZZAKI Mohon Tunggu... Aktor - MANUSIA

UTUSAN DARI PENGUASA LANGIT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Teori Konflik Sosial Beragama dalam Masyarakat Semikota

23 Maret 2020   01:03 Diperbarui: 23 Maret 2020   01:06 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

TEORI KONFLIK SOSIAL BERAGAMA DALAM MASYARAKAT SEMI KOTA


Kampung halaman yakni tempat asal seseorang, begitu singkatnya. Orang-orang rantauan mungkin mayoritas selalu rindu kampung halaman, bagaimana  tidak  karena kampung halamanlah yang menjadi suasana masa kanak kanak seseorang yang mana masa kanak-kanak adalah masa yang selalu teringat dalam memori otak dan mustahil untuk kita lupa, bahkan Abraham Lincoln dan Bung Karno telah mewanti wanti untuk tidak melupakan masa lalu. Mayoritas perantau mungkin sangat mendarah daging dalam jiwanya perihal tentang kampung halaman meskipun jarang kembali, mencakup sifat masyarakatnya, adat istiadat/tradisi, budaya yang membangun peradaban dalam masyarakat tersebut, dll. Perantau yang disini juga termasuk penulis, kebanyakan ialah orang desa yang sedang menitih hidup di kota dengan tujuan masing-masing. Berbicara pedesaan, tak luput dari kentalnya gotong royong dan masyarakatnya yang memegang kuat nilai keagamaan dan menjaga kearifan local. Penulis akan menggotong objek bukan dari kondisi desa yang benar-benar ndeso, ada pemetakan lagi antara desa dan kota yakni masyarakat semi kota. Masyarakat semi kota ini adalah sebuah wilayah yang menurut penulis wilayah ibukota kecamatan yang memang memiliki tingkat keramaian atau sedikit menyerupai kota, dan sifat sosial masyarakatnya juga setengah-setengah antara kota dan desa. Karakteristik masyarakat desa yang sangat kuat memegang ajaran agama dan selalu menjadikan agama sebagai tolok ukur etika, dan menganggap orang yang sangat paham terhadap agama sebagai tokoh yang menetukan arah jalannya masyarakat. Sedangkan masyarakat kota ialah orang orang kekinian yang tidak terlalu peduli akan nilai agama, dan hidup mengikuti arus zaman ukuran panutan diambil dari seberapa tren ia di zaman ini mereka cenderung terpengaruh oleh dominasi barat atau westernisasi. Namun ini adalah gambaran yang dhohir dari opini publik yang umum, dan ini bukan gambaran seluk beluk ataupun bathin. Dan letak masyarakat semi kota adalah posisi ketika dua elemen desa dan kota terjadi hibridasi (campuran). Lewat percampuran tadi penulis sedikit membaca keadaan sosial dalam hal beragama, sehari hari manusia tak luput dalam ritual beragama, itu berarti agama merupakan bagian besar dalam kehidupan  masyarakat. Objek yang lebih spesifik sebenernya tidak dalam hal beribadah atau ritual agama lainnya namun lebih kepada keadaan antara ulama' dan orang awam. Friedrich Hegel mengemukakan bahwa perkembangan sejarah ditentukan oleh ketegangan antara dua kekuatan yang bertentangan yang kemudian dicairkan oleh sebuah perubahan yang mendadak, Karl Marx lalu mengembangkan gagasan ini lebih jauh. Pimpinan merupakan penentu kemana arah kebijakan yang akan dilakukan, dan seorang pemimpin haruslah paham mendalam dan menguasai tempat yang ia pimpin, layaknya dalam kasus ini. Sebuah masjid yang memang harus dipimpin oleh seorang yang benar-benar ahli dalam ilmu agama dan memiliki segudang pengalaman dalam kehidupan beragama atau yang dinamakan sebagai ulama', ulama' ini hakikatnya ialah orang yang alim, tau kearah mana masjid ini akan digerakkan, dan sang ulama' telah puluhan tahun menjadi ketua ta'mir di masjid tersebut. Latar belakang dari ulama' ini ialah seorang pengasuh pondok pesantren, yang mana kebanyakan muallim-mullim serta asatidz yang ada di pesantren tersebut ditarik untuk menjadi pengurus ta'mir masjid dan tidak terlalu banyak memberi ruang terhadap masyarakat, karena memang menurut hemat baca penulis ditakutkan ada  masyarakat yang  tidak terlalu paham mengenai pengelolaan masjid yang  sesuai syariat Islam, dan ditakutkan jatuh pada pengelolaan yang salah, lalu berujung pada dosa atau maksiat. Semasa kepemimpinan sang ulama' sebenarnya masjid berjalan dengan baik menurut beberapa orang yang penulis dengar, juga ada orang lain yang mengatakan ada beberapa masalah sehingga dari sini muncullah dua pihak, antara orang yang pro sang ulama' dan yang kontra. Orang yang kontra kebanyakan dari masyarakat sekitar atau penduduk kecamatan tersebut mereka mensinyalir kepemimpinan sang ulama' sudah tidak baik lagi dan terlalu lama menjabat sehingga harus diganti, akibatnya muncullah konflik. Masyarakat yang kontra menginginkan ada pergantian ta'mir namun kuatnya pengaruh sang ulama' atas masyarakat dan tokoh-tokoh sesepuh desa apalagi kala itu sang ulama' memang sedang memegang masjid, hal-hal ini menjadikan masyarakat yang kontra sulit untuk mengintervensi kepengurusan masjid, akhirnya mereka masyarakat kontra malakukan sebuah propaganda dengan cara menebar berita palsu dengan efek dapat mempengaruhi opini publik masyarakat disana tentang sang ulama'. Beberapa waktu kabar kabar palsu tersebar akhirrnya berefek kepada masyarakat yakni mulai sedikit beranggapan buruk pada sang ulama'. Hal ini mengakibatkan para pengikut sang ulama' atau para santrinya yang tersebar diberbagai wilayah juga mendengar hal ini, akhirnyapun mereka berkumpul di pesantren sang ulama' untuk melakukan pembahasan tentang sang guru dan pengamanan pesantren karena dinilai suasana tidak kondusif di lingkungan tersebut,  yang sedikit penulis dengar akan kejadian ini bahwa ada beberapa santri yang berencana melakukan penyerangan kepada ta'mir tandingan dan hal ini segera ditahan oleh sang ulama' supaya tidak semakin memperburuk keadaan, seperti itu yang penulis dengar dari salah satu santri. Sang ulama' dengan pengetahuan tasawufnya dan kebijaksanaannya kemudian melepas jabatan (tidak secara de jure/hukum) artinya sang ulama' sudah tidak pernah lagi datang ke masjid lebih sering beruzlah  di kediamannya di pesantren, menurut hemat baca penulis hal itu karena sudah kuatnya pengaruh berita bohong tentang dirinya, dan beliau sang ulama' dengan secara bijak akhirnya menjauhi perkara yang ditakutkan akan menjadi lebih buruk lagi. Dari sini masyarakat kontra masuk menduduki masjid dengan merancang struktur kepengurusan ta'mir tandingan. Beberapa bulan kepengurusan tandingan tersebut berjalan menduduki masjid, tetapi kepengurusan itu tidak sah secara hukum karena belum ada pelepasan dari kepengurusan lama secara hukum dan kepengurusan lama belum demisioner. Berjalannya kepengurusan tandingan tersebut juga telah melakukan perubahan dengan mebangun beberapa aspek dalam masjid, dengan adanya hal ini hilanglah kemurnian dari kepengurusan lama akibat pembangunan-pembangunan. Kausalitas dari sebaran berita bohong  tersebut juga berefek pada pondok pesantren sang ulama' juga para santrinya ada yang mengatakan juga tak luput keluarganya. Seiring berjalannya waktu konflik tersebut mulai mereda dan beberapa kedua belah pihak juga sudah ada yang berilaturahmi kepada sang ulama' lewat acara mauled nabi  yang diadakan di pesantren sang ulama'. Sang ulama' saat ini juga terlihat tidak terlalu memikirkan hal tersbut dan lebih focus untuk pesantren dan santrinya . menurut penulis peredaan yang terjadi dari akibat konflik tersebut karena kedewasaan bersikap kedua belah pihak dan dalamnya kekuatan ilmu agama yang menjadikan pihak sang ulama' mawas diri dan kembali mengingat Allah sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permaianan yang menipu dan tidak abadi, tidak ada hal yang patut dilanggengkan di dunia. Inilah singkat kronologi mengenai kasus sosial tersebut, bagaiamana keadaan sosial yang dibalut dengan konflik pertentangan agama beraspek politik kecil. Bagaiamana masyarakat semi kota yang tidak terlalu fundamental dalam beragama yang biasanya sangat menjunjung tinggi seorang ulama', karena ada sedikit sublimasi nilai masyarakat kota yang akhirnya melunturkan nilai masyarakat desa tersebut dengan penilaian kritis masyarakat kota, demikian menurut penulis masyarakat semi kota. Menurut Karl Marx puncak pertentangan antara dua kekuatan besar ialah revolusi. Makna revolusi sendiri menurut KBBI adalah perubahan yang sangat mendasar dalam suatu bidang. Melihat dari kasus ini revolusi yang diistilahkan Karl Marx terjadi tatkala dua pihak tersebut saling sadar dan kembali pada diri masing-masing dengan merenungi nilai-nilai agama, mungkin itulah sedikit konklusi yang dapat penulis petik dari kasus ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun