Saat ini dunia media sosial dibanjiri dengan muculnya ustaz muda viral, hal ini tentunya menjadi gejala menarik dalam perkembangan dakwah Islam di era digital. Ceramah mereka pendek, santai, dan dikemas dengan gaya "relatable" serta menggunakan bahasa sehari-hari, mewakili keresahan anak muda, bahkan memanfaatkan tren audio dan visual kekinian. Tak heran, banyak dari mereka mampu mengumpulkan jutaan views hanya dalam hitungan jam.Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah dakwah digital semacam ini benar-benar membawa umat lebih dekat kepada agama, atau justru mengaburkan esensi dakwah menjadi sekadar konten algoritma?TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts mengandalkan durasi pendek dan visual yang menarik. Akibatnya, pesan-pesan keagamaan harus dikemas sepadat dan se-menarik mungkin. Di satu sisi, ini membuat nilai-nilai Islam lebih mudah diakses oleh generasi muda yang tidak terbiasa duduk lama dalam majelis ilmu. Ceramah berdurasi 60 detik bisa membuka pintu hati yang sebelumnya tertutup.Namun di sisi lain, penyampaian yang terlalu singkat berpotensi menimbulkan pemahaman yang dangkal. Beberapa isu kompleks seperti fiqh, aqidah, atau bahkan adab bisa mengalami penyederhanaan berlebihan demi mengejar "engagement." Spiritualitas, yang sejatinya butuh kontemplasi dan pendalaman, bisa tergelincir menjadi tontonan yang hanya menghibur.Popularitas vs Otoritas KeilmuanPopularitas ustaz digital kadang-kadang justru mendahului otoritas keilmuan. Beberapa di antara mereka belum memiliki latar belakang pendidikan keagamaan yang memadai, namun sudah menjadi panutan jutaan followers. Hal ini menimbulkan potensi misleading, terutama jika materi ceramah tidak diverifikasi atau tidak sesuai dengan rujukan yang sahih.Ironisnya, semakin banyak yang menyukai---semakin algoritma mendorong penyebaran. Maka, dakwah bisa menjadi pasar perhatian, di mana yang paling lucu, paling menyentuh, atau paling kontroversial akan lebih terlihat, terlepas dari kebenaran ilmiahnya.Namun tentu kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan media sosial. Medsos hanyalah medium, netral secara nilai. Yang menentukan arah dan dampaknya adalah bagaimana para dai menggunakan platform ini---apakah untuk membumikan nilai-nilai Islam dengan tanggung jawab ilmiah, atau sekadar mencari panggung popularitas.Umat pun perlu lebih kritis. Jangan hanya mengikuti karena viral, tapi juga harus menimbang isi dan niat. Spiritualitas sejati tak selalu hadir lewat tampilan memesona. Ia sering datang dari proses belajar yang konsisten, sabar, dan mendalam.Dakwah digital memang membuka peluang besar dalam menyebarkan ajaran Islam. Tapi bila tidak diiringi dengan tanggung jawab ilmiah dan spiritual, ia berisiko menjadi konten kosong: viral, tapi hampa. Sudah saatnya kita bertanya: apakah kita mencari hidayah, atau hanya hiburan yang menyentuh?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI