Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Si Kecil juga Bisa Bosan, tapi Kita Bisa Apa?

24 Januari 2020   15:48 Diperbarui: 24 Januari 2020   17:51 3082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari todaysparent.com

"Nda, aku bosan."

Frasa sederhana yang seringkali membuat kita, orangtua, menjadi sibuk mencari cara bagaimana mengembalikan motivasi anak.

Beberapa dari kita malah bingung, ketakutan dan merasa bersalah. Merasa jika kebosanan anak berawal dari kegagalan orang terdekat (tentu saja orangtua) gagal menstimulasi, mencerahkan atau memperkaya keseharian anak.

Terkadang juga kita malah sedikit sinis dengan tidak mempercayai kebosanan anak. Sehingga dengan enteng memerintahkan mereka untuk bermain, mengerjakan tugas atau hal-hal lainnya.

Semua orang pernah merasa bosan. Saat terjebak lama dalam antrian, saat dalam perjalanan dan masih banyak lagi.

Seringkali kita tergesa-gesa untuk mengusirnya, mengambil gawai dan mengusap layarnya. Berharap kebosanan akan segera berlalu, namun ternyata kadang itu tidak membantu. Entah karena tidak ada percakapan baru dalam aplikasi whatsapp, tidak ada lagi yang baru di IG, FB atau Twitter. Justru kita malah terjebak dalam dimensi yang lebih dalam, semakin merasa bosan.

Apa sebenarnya bosan?

Tidak ada definisi yang disepakati ahli terkait kebosanan. Kamus Mirriam-Webster menyebutnya hanya sebagai keaadan lelah dan gelisah karena tidak tertarik.

Neel Burton dalam tulisannya di Psychology Today menawarkan definisi kebosanan sebagai sebuah keadaan yang tidak menyenangkan karena adanya gairah yang tidak terpenuhi (unmet arousal).

Sementara Eastwood, dkk., dalam salah satu artikel yang diterbitkan Perspectives on Psychological Science percaya bahwa kebosanan lahir dari kegagalan seseorang terlibat dengan lingkungannya.

Maggie Koerth-Baker dalam majalah Nature melihat kebosanan sebagai kondisi mental yang tidak menyenangkan akibat kurangnya rangsangan. Baginya kebosanan berbeda dengan depresi atau perasaan apatis. Seperti saat kita ingin beraktivitas tetapi tidak menyadari apa yang kita inginkan, dan berharap ada yang membantu menyelesaikan kebuntuan tersebut.

Itulah mengapa para ahli sering melihat kebosanan sebagai keadaan internal dan eksternal. Secara internal, seseorang yang bosan seringkali terjebak dalam kondisi kurang imajinasi, motivasi, atau konsentrasi.

Sedangkan dalam kondisi eksternal, merasa seperti tidak adanya rangsangan, koneksi atau peluang dari lingkungan.

Mengapa kebosanan juga terjadi pada anak-anak, bukan hanya pada orang dewasa atau remaja?

Para ahli menyebut hal tersebut sebagai kurangnya kontrol anak atas dirinya sendiri, mereka terpenjara dalam rutinitas yang padat. Anak-anak (terutama kalangan menengah ke atas perkotaan) hidup dalam dunia di mana sebagian besar waktu mereka dikelola dan dijadwalkan. Stimulasi terstruktur dan motivasinya cenderung ekstrinsik. Sekolah (bisa sampai sore hari), jam tambahan seperti ekskul dan les serta kegiatan mengaji. Semuanya tertata begitu, terus-menerus. Mereka hampir tidak punya pilihan untuk dirinya sendiri.

Jangan kaget jika mereka gagap menghadapi waktu luang, mereka kehilangan stimulus eksternal, gagal memacu motivasi interinsik, membangun imajinasi, dan kehilangan konsentrasi. Mereka bosan!

Efeknya?

Para peneliti menemukan banyak hal terkait dampak kebosanan bagi kehidupan, baik negatif ataupun positif. Kebosanan banyak terbukti berdampak pada kapasitas atensi, kesejahteraan emosional, dan telah dikaitkan dengan konsekuensi perilaku bermasalah.

Sebagai contoh, individu dengan kecenderungan bosan tinggi akan lebih terlibat dalam perilaku adiktif seperti pecandu alkohol, penyalahgunaan zat dan perilaku kompulsif seperti judi serta cenderung sangat buruk dalam merencanakan hal-hal baik yang akan dicapai di masa depan.

Pada hal-hal kecil, kebosanan berdampak pada perilaku impulsive seperti terus menerus mengunyah makanan, sampai kehilangan kendali dan konsentrasi saat mengemudi. Itulah mengapa banyak dari kita lebih benci rasa bosan daripada sakit fisik.

Tidak selalu kebosanan berdampak buruk, ini bergantung bagaimana kapasitas kita menghadapinya. Anak-anak perlu mendapatkan kompetensi melewati rasa bosan. Jika mampu menaklukkannya, kebosanan dapat meningkatkan fokus, mendorong kreativitas, pemecahan masalah dan membantu perasaan menjadi lebih nyaman. Dalam beberapa penelitian, orang-orang yang bosan melakukan tugasnya dengan lebih baik dan kreatif.

Bagaimana sikap kita?

Banyak dari kita tidak siap saat anak-anak mulai mengungkapkan kebosanannya, bahkan terkejut. Mudah ditebak jika kita seringkali keliru memberikan tanggapan saat anak bilang "aku bosan." Dalam hati banyak orangtua kaget, mempertanyakan mengapa anaknya bosan. Mereka kemudian mengambil tindakan yang justru tidak menyelesaikan masalah. Seperti bertanya kembali "kenapa kamu bosan?" dan juga menawarkan beberapa kegiatan (yang sayangnya tidak baru dan menarik bagi anak).

Mengapa saya katakan tidak menyelesaikan masalah? Karena frasa "aku bosan" sebenarnya anak-anak ingin memberikan sinyal bahwa "aku sedang tidak tertarik."

Pada sisi lain, anak juga memberikan tanda bahwa mereka sedang jenuh dengan aktivitas kesehariannya, mereka menginginkan rehat (down time). Ini adalah hal pertama yang harus kita fahami.

Selanjutnya, jangan mencoba menawarkan solusi. Kebosanan bukanlah hal buruk bagi anak, ia adalah petanda bahwa anak perlu menciptakan sesuatu sendiri. Semacam register internal yang mengatakan kepada otak bahwa ada sesuatu yang diinginkan. Biarkan anak-anak mencari dan menemukan sesuatu yang baru untuk dikerjakan untuk memenuhi rasa bosan.

Artinya, berikan mereka waktu untuk menyelesaikan kebosanannya. Dengan memberikan waktu, mereka akan tahu bahwa kita menghargai mereka.

Kebosanan adalah fenomena nyata kehidupan. Biarkan anak-anak mengalaminya, mereka akan tahu bahwa hidup tidak seperti rangkaian acara hiburan.

Seperti kata Schopenhauer, filsuf kenamaan Jerman, bahwa kebosanan hanyalah kebalikan dari daya tarik. Biarkan anak-anak mengikutinya, seperti saat mereka mengikuti hal yang menarik hatinya. Berikan mereka waktu, dan lihatlah anak-anak yang lebih kreatif dan mandiri setelahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun