Ada masa ketika perjuangan sosial dan dakwah berjalan dalam kesunyian. Ia tumbuh dari bawah tanah — dari jaringan-jaringan kecil yang bekerja diam-diam namun penuh semangat. Sebagian menyebut fase itu sebagai gerakan klandestine, atau dalam istilah lokal dikenal sebagai OTB (Organisasi Tanpa Bentuk). Pada fase ini, idealisme menjadi bahan bakar utama, dan kantong pribadi menjadi sumber dana satu-satunya. Ungkapan “Sunduquna juyubuna” — kas perjuangan kami adalah kantong kami sendiri — lahir dari semangat itu: ikhlas, mandiri, dan tanpa pamrih.
Namun waktu berjalan, sejarah berputar. Gerakan yang dulu sunyi kini tampil di ruang publik. Dari dakwah bawah tanah, ia berubah menjadi institusi formal yang ikut membentuk arah kebijakan negara. Sebagian menyebut fase ini sebagai mihwar dauli — fase peran kenegaraan, dengan misi islahul hukumiyah, yakni memperbaiki sistem dan tata kelola pemerintahan. Di sinilah perubahan besar terjadi: perjuangan yang dulu dibiayai dari kantong pribadi kini sebagiannya turut dibiayai dari kas negara.“Ṣundūqunā Juyūbunā ” pun ada tambahan sebagiannya adalah “Ṣundūqunā Juyūbu ad-Daulah” atau bisa juga dimaknai sebagai "Ṣundūqunā juyūbu an-nās", sebagian kas kami adalah dari kantong rakyat (baca:APBN/D).
Perubahan ini tampak sederhana di permukaan, namun sesungguhnya mengguncang akar kesadaran sebuah gerakan. Sebab ketika sumber daya perjuangan berasal dari negara, maka tanggung jawabnya pun menjadi tanggung jawab publik. Tidak cukup lagi dengan semangat dan keikhlasan,tapi juga menuntut profesionalitas, akuntabilitas, dan integritas kelembagaan. Gerakan yang dulunya lahir dari semangat moral kini harus hidup dalam disiplin administratif dan hukum negara.
Sayangnya, tidak semua siap menghadapi perubahan ini. Sebagian penggerak masih berpikir dengan pola lama — seolah perjuangan formal bisa dijalankan dengan logika informal. Minimnya wawasan politik, lemahnya pemahaman kebijakan publik, dan ketiadaan ruang studi yang kritis sering membuat gerakan kehilangan daya reflektifnya. Kita sering melihat semangat yang tinggi, namun tidak diiringi kedalaman nalar politik. Kader atau aktivis yang kuat di medan dakwah kadang kaku membaca medan kebijakan. Dan yang lebih memprihatinkan, pembahasan tentang arah politik atau keputusan strategis sering dianggap tabu — seolah kritik adalah ancaman, bukan bagian dari tanggung jawab intelektual dan moral.
Padahal, ketika perjuangan sudah dibiayai oleh rakyat, maka setiap kebijakan adalah amanah publik. Kritik yang jujur bukanlah pembangkangan, melainkan bentuk penjagaan terhadap integritas gerakan. Karena ruang publik tidak lagi mengenal “urusan internal” segala hal yang melibatkan dana publik adalah domain pertanggungjawaban terbuka.
Dan di titik inilah, budaya berpikir kritis menjadi keharusan, bukan pilihan.
Kini, fase mihwar dauli menuntut gerakan untuk naik kelas —dari solidaritas emosional menjadi kesadaran intelektual.
Kita perlu membangun ruang-ruang studi yang membahas kebijakan ekonomi, politik, dan sosial secara mendalam.
Perlu membangun tradisi membaca dokumen publik, memahami konstitusi, dan mengaitkannya dengan nilai keadilan sosial yang diperjuangkan.Sebab islahul hukumiyah bukan sekadar mengganti orang di tampuk kekuasaan,tetapi membenahi cara berpikir dan tata kelola yang melayani rakyat dengan adil.
Maka refleksi ini bukan sekadar nostalgia antara masa lalu dan masa kini, melainkan ajakan untuk menata ulang kesadaran.
Bahwa dari Ṣundūqunā Juyūbunā menuju Ṣundūqunā Juyūbu ad-Daulah, dari OTB menuju mihwar dauli, ada satu hal yang harus tetap dijaga: ruh keikhlasan dan amanah.
Kini ujian kita bukan lagi kesabaran dalam kekurangan,
melainkan ujian kejujuran dalam kelimpahan.
Bukan lagi tentang bertahan di bawah tekanan,
tetapi tentang menjaga integritas di tengah kekuasaan.
Sebab pada akhirnya, ujian sejati perjuangan bukanlah ketika kita miskin dan terpinggirkan, tetapi ketika kita diberi kepercayaan dan kekuasaan. Dan di sanalah keikhlasan diuji dalam bentuknya yang paling nyata — bukan pada seberapa banyak kita memberi, tetapi seberapa tinggi integritas kita mengelola apa yang telah dipercayakan rakyat.
Wallahua'lam bishawab