Fenomena memalukan terjadi di sejumlah sekolah saat masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS). Beberapa video yang beredar luas di media sosial menunjukkan aksi ricuh sekelompok orangtua yang berebut kursi paling depan demi anaknya. Bukan hanya tak elok dipertontonkan di hadapan anak-anak tetapi juga mencederai esensi pendidikan itu sendiri. Sekolah seharusnya menjadi ruang tumbuh yang penuh keteladanan. bukan arena adu gengsi dan ego orangtua.
Bila ditelusuri lebih dalam, mungkin motifnya sederhana yakni kursi depan dianggap strategis, ideal untuk mendekatkan anak dengan guru, seakan-akan menempatkan anak di barisan utama akan menjamin prestasi.Â
Bisa jadi pula ini refleksi dari pengalaman masa lalu sang orangtua. Sayangnya, pemikiran seperti ini sudah usang. Di era digital dan Kurikulum Merdeka, keberhasilan siswa akan ditentukan oleh ekosistem belajar yang suportif dan penguatan karakter.
Fakta menunjukkan bahwa efektivitas pembelajaran tak ditentukan oleh letak duduk. Bahwa faktor seperti pencahayaan alami, suhu ruangan, hingga desain kelas memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap konsentrasi dan capaian akademik anak ketimbang posisi tempat duduk.Â
Di Indonesia sendiri, Kurikulum Merdeka mendorong pembelajaran berdiferensiasi yang menjunjung partisipasi aktif semua siswa. Tentu saja bukan sekadar siswa di baris depan.
Ironisnya, tindakan berebut kursi justru menampilkan sisi buruk pendidikan bahwa orang dewasa belum selesai belajar tentang nilai-nilai seperti toleransi, antre, dan mengutamakan kepentingan bersama. Bayangkan apa yang ditangkap anak-anak ketika melihat orangtuanya saling dorong dan berteriak hanya demi kursi. Di situlah pendidikan karakter bisa runtuh bahkan sebelum dimulai.Â
Apa gunanya belajar sopan santun di kelas jika rumah dan lingkungan justru mencontohkan sebaliknya?
Kini Posisi Duduk di Kelas Selalu Berubah
Banyak orangtua belum menyadari satu hal penting saat mengantar anaknya di hari pertama sekolah yakni posisi duduk di kelas bukanlah sesuatu yang permanen. Di era sekarang, guru tidak lagi menerapkan sistem "yang datang lebih awal dapat kursi depan" secara mutlak. Justru sebaliknya, posisi duduk akan terus dirotasi sepanjang semester. Mengapa? Karena guru memiliki strategi pembelajaran yang bukan sekadar mengisi bangku kosong.
Kini, para guru mengawali tahun ajaran dengan melakukan asesmen diagnostik, yaitu pemetaan awal terhadap kemampuan dan gaya belajar siswa. Guna mengenali potensi dan kebutuhan belajar setiap anak. Dari hasil asesmen ini, guru dapat menyusun formasi duduk yang dinamis. siswa dengan pemahaman cepat akan dipasangkan dengan teman yang masih butuh pendampingan. Konsep ini dikenal sebagai peer learning, yaitu saling belajar antar teman sebaya.
Guru menyesuaikan cara mengajar dan formasi kelas berdasarkan karakteristik siswa. Bagi anak yang terlalu aktif bicara saat guru menjelaskan, tentu akan ditempatkan berjauhan dari teman "senasibnya" agar tidak mengganggu proses belajar. Semua itu demi menciptakan suasana belajar yang kondusif, menyenangkan, dan tetap efektif.