Mohon tunggu...
SUARDI
SUARDI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kajian Sosial dan Budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Manusia adalah makhluk yang bertanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pendidikan Perspektif Sosial dan Rekayasa Budaya

5 Maret 2021   14:40 Diperbarui: 5 Maret 2021   14:42 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam tulisan ini saya tertarik melihat pendidikan dalam perspektif sosial dan sebagai rekayasa budaya. Perspektif sosial disini saya berkaitan tentang cara pandang masyarakat mengenai pendidikan. Sedangkan rekayasa budaya dapat kita artikan bahwa semua organisasi atau institusi sosial baik dari hal terbesar hingga yang terkecil adalah produk budaya manusia yang dibentuk secara ilmiah. Dan ini adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia modern dan hakikat manusia itu sendiri sebagai makhluk diberikan akal pikiran oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Pendidikan dalam perspektif sosial sebagai kita dapat menggunakan model stratifikasi sosial masyarakat. Sedangkan dalam rekayasa budaya kita bisa menggunakan metode fenomenologi. Startifikasi sosial digambarkan dalam bentuk segitiga sama halnya dengan negara yang memiliki simbol segitiga dan sama halnya dengan struktur kecerdasan manusia yang digambarkan dengan segitiga. Jadi masyarakat dengan berbagai ruang lingkupnya ini dibentuk berdasarkan segitiga berfikir manusia. 

Segitiga negara adalah pembagian masyarakat kedalam beberapa kelas yaitu kelas atas, menengah dan bawah. Sedangkan struktur kecerdasan manusia adalah pembagian beberapa kecerdasan yang ada pada manusia yaitu IQ, EQ dan SQ, ketiga kecerdasan ini harus dimiliki oleh manusia agar manusia, bahkan sejak zaman peradaban Mesir baik struktur kecerdasan maupun kekuasaan sudah di sinbolkan dengan Piramida.

Diakui atau tidak hampir semua orang memiliki tujuan dalam menempuh pendidikan yang dimuali dari pendidikan tingkat dasar sampai pendidikan tinggi, dimanapun dan dikampus manapun serta jurusan apapun. Menurut saya 99% mahasiswa akan bertanya akan menjadi apa kita nantinya.  Apakah menganggur,? Apakah jadi buruh pabrik,? Jadi tenaga pengajar,? Jadi pengusaha atau jadi apa,? 

Kita tidak memiliki cukup nalar jadi apa kita nanti, karena berkaitan nanti itu berkenaan dengan hal yang belum dialami artinya hanya sebatas dugaan, prediksi atau asumsi rasional tetapi yang pasti semua orang berharap bahwa nanti memiliki kita memiliki kedudukan sosial dalam masyarakat. Bukankah itu kan yang kita mau,? 

Melalui pendidikan diharapkan kita memiliki kedudukan di masyarakat, sekalipun menjadi tukang rongsokan tetapi jika kita menjadi bosnya siapa yang tidak mau, toh dimanapun bos itu tidak pernah kotor-kotoran dan hanya menunjuk dan memberi gaji pegawainya. Kedudukan seperti ini adalah kedudukan yang didapatkan bukan berdasarkan pendidikan, melainkan karena kegigihan dan kerja keras membangun usaha mandiri. 

Nah berdasarkan contoh diatas maka dapat kita jelaskan bahwa kedudukan itu ada yang didapatkan berdasarkan pendidikan dan ada yang didapatkan berdasarkan nonpendidikan. Yang dimaksudkan disini adalah tidak menempuhnya pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah, meskipun pada kenyataannya di era modern ini pendidikan tidak lepas dari peranan pemerintah bahkan pondok pesantren pun yang dulu dikenal pendidikan nonpemerintah sekarang sudah terikat dengan pemerintah.

Bedanya antara kedudukan yang didapatkan melalui pendidikan formal dengan nonformal adalah terletak pada gelar. Pendidikan nonformal seperti pendidikan pondok pesantren salafi itu tidak ada batasan atau patokan kelulusan. Kelulusan santri ditentukan oleh Kyainya sendiri. Namun meskipun demikian ketika ia pulang dan masuk di lingkungan masyarakat jabatan yang didapatkan nya di dapatkan secara alami. 

Selanjutnya pendidikan formal yang kita tempuh yang dimuali dari TK, SD, SMP, SMA/SMK hingga perguruan tinggi ini sudah ditentukan lamanya, termasuk isi dari pendidikan yang kita tempuh dan setiap jenjang pendidikan memiliki jangka waktu yang berbeda-beda. Seperti sebagai contoh perguruan tinggi ditentukan empat tahun baru kita bisa mendapatkan gelar yang disesuaikan dengan jurusan yang kita ampu.

Baik pendidikan formal dan nonformal, semua itu adalah proses yang rasional agar kita memiliki startifikasi sosial di masyarakat dan stratifikasi sosial hanya berlaku dalam masyarakat modern yang sudah dibentuknya Organisasi-organisasi sosial dalam masyarakat. Jadi pembentukan sebuah organisasi seperti halnya negara kita Indonesia ini dibentuk secara ilmiah. Negara dapat dikatakan sebagai organisasi, yang memiliki ruang lingkup lebih luas. 

Kemudian agar negara mempermudah dalam penyelenggaraannya maka dibentuk lagi menjadi beberapa sub-sub organisasi baik sebagai organisasi otonom maupun non-otonom seperti daerah dan provinsi sebagai sub-organisasi otonom. Sedangkan non-otonomnya adalah seperti kementrian dan dinas-dinas yang masih dibawah kendali pemerintahan. Dalam hal ini pemerintahan ditinjau dalam perspektif sistem Trias politika yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. 

*Pendidikan Perspektif Sosial*

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pendidikan dalam perspektif sosial adalah alat untuk mencapai kedudukan tertinggi dalam masyarakat. Masyarakat percaya bahwa melalui pendidikan manusia bisa sejahtera hidupnya. Masyarakat menilai bahwa seseorang yang sudah menempuh pendidikan dapat hidup layak dalam masyarakat. Namun faktanya menunjukan justeru bertolak belakang dengan kenyataan, tidak sedikit banyak orang yang lulusan sarjana tidak menjadi apa-apa. Nah kenyataan ini menimbulkan perspektif baru cara pandang masyarakat terhadap pendidikan terutama kepercayaan terhadap pendidikan. 

Kepercayaan sangat penting bagi masyarakat. Masyarakat menyekolahkan anak-anaknya salah satunya karena atas dasar kepercayaan. Percaya bahwa pendidikan memiliki peranan penting bagi masa depan anak-anaknya. Namun kini kepercayaan itu mulai luntur, hal ini disebabkan oleh beberapa pengalaman yang memberikan persepsi bahwa pendidikan telah gagal. Sebetulnya tidak sepenuhnya bahwa pendidikan hari ini gagal, yang salah adalah adalah pola pikir masyarakat yang mengukur kesuksesan dari materi. Memang tidak bisa kita dipungkiri bahwa materi adalah memang ukuran kesuksesan hingga saat ini. 

Masyarakat sadar bahwa pendidikan bukanlah satu-satunya ukuran untuk mencapai kedudukan tertinggi. Masyarakat menilai bahwa ada ukuran lain yang menjadi penentu seseorang berada pada tingkat startifikasi sosial di masyarakat. Hal ini relevan bahwa benar jika ukuran stratifikasi sosial masyarakat bukan hanya pendidikan tetapi ada ukuran kekayaan, dan kekuasaan disamping pendidikan. Inilah yang kita namakan sebagai stratifikasi sosial masyarakat yang penjadi Perspektif masyarakat. 

Pada akhirnya masyarakat kita lebih mendukung anak-anaknya untuk bekerja atau menjadi urbanisasi di Jakarta. Masyarakat menganggap bahwa pendidikan tidak jauh berbeda agar ia suskes, belum lagi masyarakat melihat beberapa sarjana yang nganggur dan dianggap tidak jauh bedanya dengan anak yang tidak kuliah. 

*Pendidikan Perspektif Rekayasa Budaya*

Dalam hal ini pendidikan dipandang sebagai rekyasa manusia modern disamping negara dan institusi-institusi lainnya. Pendidikan disususun berdasarkan kepentingan negara artinya dunia pendidikan tidak bisa dilepaskan dari politik terutama aktor yang memiliki kebijakan. 

Sebagai rekayasa budaya pendidikan dikembangkan dengan membentuk lingkungan belajar yang di dalamnya terdapat sebuah manajemen dalam penyelenggaraan pendidikan yang memuat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Tetapi pendidikan masih terjebak dalam ruang lingkup yang terbatas dan masih teoritis belum menyentuh hal-hal kontekstual. Oleh karena itu pendidikan perlu diarahkan kepada hal-hal yang sifatnya kontekstual yang menyangkut kehidupan atau lingkungan masyarakat itu sendiri. 

Asumsi pendidikan gagal dapat dikatakan benar adanya jika pendidikan merupakan hasil rekayasa sosial. Pendidikan yang diberikan patokan waktu seperti SD 6 tahun, SMP 3 tahun SMA/SMK 3 tahun dan Perguruan Tinggi 4 barangkali tidak bisa menjadi jaminan pula bahwa ketika seseorang selesai  menempuh pendidikan kompetensi nya juga tercapai. Hal 

Meskipun demikian, lembaga pendidikan sebagai rekayasa sosial, bukan hanya sekolah melainkan banyak hal seperti organisasi kemasyarakatan, komunitas serta lembaga-lembaga lain yang memiliki kajian khsusu di dalamnya sebagai wadah bertukar pikiran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun