Membaca Dwianto: Ketika Imajinasi Menjadi Gerbang Berpikir KritisPenulis: R. Jody Aryono
Saya mengenal nama itu
bukan dari buku cerita
bukan dari perpustakaan sekolah
melainkan dari sebuah undangan
undangan yang mengajak mengenang
seorang penulis yang telah menanamkan benih berpikir
ke dalam kepala anak-anak yang haus makna.
Martinus Dwianto Setyawan
bukan sekadar penulis
bukan sekadar pengarang
ia adalah penenun imajinasi
pada kepala anak-anak yang belajar berpikir
melalui kisah-kisah yang sederhana namun tajam
melalui dongeng yang menyimpan arah dan pesan.
Dari berita di SIAPTV
artikel di NasionalToday dan Hatipena
terbentang benang merah:
karyanya bukan sekadar hiburan
melainkan refleksi budaya
dan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal.
Cerita-ceritanya
bagaikan jendela
yang mengajak anak menatap dunia
bukan dengan mata yang pasrah
tapi dengan mata yang ingin tahu,
bertanya,
merenung,
dan akhirnya memahami.
Sastra anak,
kata sebagian orang, lucu dan ringan
namun Martinus menyisipkan perenungan
dalam kisah-kisahnya yang lugu:
"Apa itu benar?"
"Mengapa begitu?"
"Bagaimana jika..."
pertanyaan-pertanyaan itulah
cikal bakal nalar dan keberanian berpikir.
Ia tak menulis untuk mendikte
ia menulis agar anak-anak bertanya
agar mereka punya jeda
di tengah dunia yang terlalu cepat
penuh visual, penuh gangguan
namun minim ruang hening untuk berpikir.
Martinus menaruh ruang hening dalam halaman-halamannya
bukan suara, bukan gambar
tapi bayangan yang hidup di kepala
potongan kisah yang memantik tafsir
ia tidak membentuk keyakinan,
ia menumbuhkan akal sehat.
Imajinasi, katanya, adalah alat bertumbuh
dan saya percaya itu benar
karena berpikir kritis tak lahir dari hafalan
tapi dari kepekaan dan perenungan
anak-anak yang terbiasa berimajinasi
akan lebih siap menghadapi kerumitan dunia nyata
karena mereka tahu
bahwa segala sesuatu bisa dipertanyakan.
Kini SATUPENA mengundang kita mengenangnya
seolah beliau telah pergi
tapi saya yakin,
Martinus tidak hilang
ia hanya pindah ke dalam cerita
ke dalam kepala anak-anak
yang pernah membaca karyanya
atau hanya mendengarnya dibacakan
oleh seorang guru, oleh seorang ibu
lalu bertanya dalam hati:
"Mengapa kisah itu tidak berakhir bahagia?"
Dan dari pertanyaan itulah
lahir generasi yang tak mudah dibohongi
tak mudah diarahkan tanpa logika
karena mereka telah terbiasa berpikir
bahkan sejak mereka belum bisa menulis.