Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Mungkin tidak signifikan, namun melalui niat baik, doa dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pesantren di Persimpangan Iman dan Akal Sehat

16 Oktober 2025   05:12 Diperbarui: 16 Oktober 2025   05:12 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu lalu, sebuah pesantren ambruk dan menelan puluhan nyawa santri. Musibah itu bukan semata peristiwa teknis runtuhnya bangunan, melainkan juga guncangan moral bagi bangsa yang menempatkan pesantren sebagai benteng pendidikan keagamaan. Di antara puing dan debu, kita menyaksikan bagaimana kepercayaan masyarakat pada lembaga yang mestinya aman dan suci sedang diuji secara menyakitkan.

Pesantren memiliki akar yang panjang dalam sejarah bangsa. Lembaga ini telah hadir jauh sebelum sekolah modern diperkenalkan. Pada abad ke-15, ketika Islam menyebar melalui para wali dan saudagar di pesisir utara Jawa, muncul pondok-pondok pengajian di sekitar rumah ulama. Para santri datang dari berbagai daerah, tinggal di asrama sederhana, dan belajar agama di bawah bimbingan guru yang mereka hormati. Dari situlah lahir bentuk awal pesantren yang kemudian menyebar ke seluruh Nusantara. Sejak masa itu, pesantren memegang peran penting bukan hanya dalam bidang pendidikan dan dakwah, tetapi juga dalam menjaga stabilitas sosial-budaya masyarakat. Di tengah tekanan kolonialisme dan arus modernisasi, pesantren menjadi benteng nilai, tempat rakyat kecil menemukan arah moral dan rasa kebersamaan. Dari lingkungan pesantren pula muncul tokoh-tokoh nasional yang menyalakan semangat kemerdekaan, seperti KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan. Maka, pesantren tidak sekadar lembaga pendidikan agama; ia bagian yang sangat penting dari perjalanan sejarah tumbuh kembang bangsa kita.

Namun, seiring waktu, banyak pesantren yang tertinggal dari begitu cepatnya perubahan zaman. Ribuan lembaga tumbuh di pelosok dengan modal swadaya dan semangat keikhlasan, tetapi sering kali tanpa dukungan teknis memadai. Gedung didirikan seadanya, asrama padat, dan pengawasan lemah. Pertumbuhan ini bukan semata hasil semangat dakwah, melainkan juga akibat dari ketiadaan negara di banyak wilayah. Di daerah-daerah di mana negara gagal menyediakan sekolah dan guru berkualitas, pesantren menambal kekosongan itu. Ironisnya, setelah lama absen, pemerintah baru hadir ketika tragedi terjadi. Tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa tidak boleh sepenuhnya diserahkan kepada lembaga masyarakat. Pesantren, yang memikul beban sosial besar, seharusnya mendapat dukungan dan pengawasan setara dengan sekolah umum. Negara tidak boleh berlindung di balik romantisme "keikhlasan kyai dan santri," sementara membiarkan ketimpangan struktural yang rawan berujung bencana.

Selain persoalan fisik, dunia pesantren juga menghadapi masalah sosial yang lebih dalam. Relasi kuasa yang hierarkis sering membuat posisi santri begitu lemah. Kekerasan fisik, verbal, hingga seksual kerap muncul dalam ruang tertutup yang mengandalkan ketaatan mutlak. Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, lebih dari lima ratus kasus kekerasan di lembaga pendidikan tahun lalu, empat puluh dua persen diantaranya merupakan kekerasan seksual dan sebagian besar terjadi di lingkungan asrama seperti pesantren.

Ironisnya, setiap kali terjadi kasus musibah yang diakibatkan oleh kelalaian atau kesalahan manusia, sebagian kalangan justru sibuk membela lembaga dengan narasi yang melenceng dari persoalan pokok. Ada yang menuding kritik terhadap pesantren sebagai serangan terhadap Islam, bahkan mengaitkannya dengan konspirasi antiulama. Ada pula yang membandingkannya dengan musibah lain di luar pesantren seolah ingin menormalisasi tragedi. Sikap defensif seperti ini justru mengaburkan akar persoalan. Kritik yang jujur tidak lahir dari kebencian, tetapi dari kepedulian agar lembaga yang dihormati tetap layak dihormati. Kita tidak sedang menuduh pesantren, tetapi menuntut tanggung jawab moral agar ia tidak kehilangan makna. Pesantren yang sejati adalah tempat mencari ilmu dan memperbaiki diri, bukan ruang di mana kesalahan dilindungi oleh status dan simbol agama. Mengakui kelemahan tidak akan menghancurkan pesantren, justru menyelamatkannya.

Sejumlah langkah perbaikan sudah mulai terlihat. Kementerian Agama menerbitkan panduan pengasuhan ramah anak, dan PBNU membentuk satuan tugas penanganan kekerasan di pesantren. Beberapa pesantren mulai membuka layanan konseling dan sistem pengaduan internal. Upaya-upaya perbaikan ini sangat diperlukan, karena menandai keberanian untuk berubah. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah sebenarnya telah mulai membenahi tata kelola pesantren, terutama dari sisi perizinan, pengawasan, dan dukungan materiil. Melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan berbagai peraturan turunannya, seperti PMA Nomor 30 dan 31 Tahun 2020, kini setiap pesantren diwajibkan mendaftarkan keberadaannya agar bisa diawasi dan difasilitasi secara resmi.

Kementerian Agama membentuk sistem pendataan nasional, menerapkan penjaminan mutu, dan memperketat syarat teknis pendirian, sementara Kementerian PUPR melakukan pemetaan serta renovasi bangunan pesantren di wilayah berisiko tinggi. Pemerintah juga mendorong penyederhanaan izin bangunan, memberikan bantuan teknis dan material bagi pesantren kecil, serta membuka jalur afirmasi agar lembaga swadaya ini tidak lagi berjalan sepenuhnya dengan dana masyarakat. Langkah-langkah itu sangat penting dan sangat mendesak, namun masih jauh dari kata tuntas. Pengawasan belum merata, implementasi di daerah berjalan lambat, dan banyak pesantren kecil belum sanggup memenuhi persyaratan administratif. Karena itu, pembenahan pesantren tak cukup dengan regulasi di atas kertas; ia menuntut kehadiran negara yang konsisten di lapangan, agar keikhlasan para pengasuh tidak terus menutupi kelalaian sistem.

Tragedi yang merenggut nyawa para santri seharusnya menjadi momentum refleksi bersama. Kita tidak boleh lagi memuliakan tanpa mengawasi, atau menyanjung tanpa berani bertanya. Hormat kepada ulama tidak berarti menoleransi penyimpangan. Tidak pantas mewajarkan kekerasan atas nama proses pendidikan. Pesantren akan tetap menjadi cahaya peradaban bangsa ini, asalkan cahayanya dirawat dengan akal sehat. Membersihkan jelaga bukan penghinaan, tetapi bentuk kepeduian yang tulus. Sebab tidak ada kemuliaan dalam menutupi keburukan, dan tidak ada dosa dalam menuntut keselamatan.

Semoga kelak, ketika kita menyebut kata pesantren, yang otomatis muncul di benak bukan lagi tragedi, melainkan gambaran ruang belajar yang aman, beradab, dan memuliakan manusia sebagaimana ajaran agama yang diembannya.

(Ajuskoto, Serang Banten, 16 Oktober 2025)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun