Sejak kemunculannya, kecerdasan buatan selalu digadang-gadang sebagai teknologi yang akan mengguncang tatanan hidup manusia. Algoritma kini bisa menulis, menggambar, membuat video, menganalisis data jauh jauh lebih cepat daripada kita hingga bisa mengalahkan dokter, programmer, bahkan mengalahkan profesor-profesor kelas dunia, seperti bagaimana AlphaFold karya DeepMind Ai bisa memprediksi struktur suatu protein dalam hitungan beberapa tahun, yang apabila dilakukan di laboratorium biokimia bisa memakan waktu hingga puluhan tahun. Namun, di balik kemampuan itu, ada batas yang tidak bisa ditembusnya, AI tidak akan pernah bisa memiliki pengertian sendiri selayaknya manusia, Ai tidak akan pernah bisa mengetahui dan memahami benar keinginan individual setiap manusia penggunanya.
AI hanyalah mesin prediksi. Ia belajar dari miliaran contoh untuk menemukan pola, menebak kata berikutnya, gambar berikutnya, atau langkah keputusan berikutnya. Hebat, iya dong. Tapi semua itu berbasis pola rata-rata. AI tidak punya pengalaman hidup, tidak punya emosi, tidak punya intuisi yang lahir dari luka, keberhasilan, atau rasa penasaran. Semua yang ia "mengerti" hanyalah statistik. Masalahnya, keinginan manusia bukanlah statistik. Satu instruksi yang sama bisa berarti seribu pengertian, tergantung konteks, budaya, atau suasana hati. Bahkan sesama manusia saja sering salah paham, apalagi mesin. Karena itu AI sering terlihat brilian pada hal-hal yang jelas dan terstruktur, tapi kerap meleset ketika harus membaca niat tersembunyi, menangkap humor, atau merasakan getar emosi di balik kata-kata.
Sebenarnya sudah cukup banyak para ahli yang menjelaskan tentang hal ini, namun saya semakin menyadari dan semakin memahaminya dalam beberapa bulan terakhir, yang sangat terbantu oleh AI untuk menulis artikel di Kompasiana dan menata bab demi bab dalam buku nata de coco yang sedang saya susun. AI sering memberi struktur, referensi, atau bahasa yang lebih rapi. Tapi berkali-kali juga saya harus menahan senyum, menahan kesal, dan kadang meledak hingga khilaf memaki AI-nya kalau pas lagi bad mood.
Dari situ jelas terasa bahwa AI hanya bisa menebak apa yang mungkin saya maksud, bukan benar-benar memahami keinginan saya. Tapi justru di situ saya diingatkan bahwa AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti.
Pernah suatu kali, beberapa artikel saya di Kompasiana masuk ke dalam kolom Headline. Tentu saja itu momen yang sangat menyenangkan. Tapi saya sadar, yang membuat tulisan itu bagus bukan sekadar bantuan AI merapikan kata-kata, melainkan sentuhan personal: cerita, amatan, dan nada yang khas dari pengalaman saya sendiri. Tanpa itu, artikel tersebut tidak akan berbeda dengan sekian banyak tulisan ala Ai lainnya yang hanya sekadar informatif, cenderung kaku.
Saya sudah menulis ratusan artikel, jadi sangat wajar kalau saya hafal betul gaya bahasa saya sendiri. Ada ritme, ada cara memilih diksi, ada irama tertentu yang sulit dipalsukan. Saat AI menghasilkan teks, saya langsung bisa merasakan: ini bukan saya. Walaupun sudah saya instruksikan agar ia menganalisis gaya dari sekian banyak tulisan yang pernah saya buat, hasilnya tetap tak pernah bisa langsung pas. Selalu perlu saya poles lagi dan lagi secara manual agar nyambung dengan cirikhas kepenulisan saya.
Yang paling terasa manfaatnya bisa dikatan hanya dari segi kecepatan. Dulu saya mencari sendiri via browsing untuk memperoleh data-data atau berita-berita informatif yang saya perlukan untuk tulisan-tulisan yang sedang saya susun, bisa berjam-jam, sekarang hanya dalam hitungan menit berkat bantuan Ai.
Buku nata de coco yang sudah saya niatkan sejak sepuluh tahun lalu hanya berhenti di kerangka utama selama bertahun-tahun. Baru ketika saya dibantu AI, dalam hitungan bulan kerangka itu berkembang menjadi ratusan halaman. Bagi saya, ini bukti nyata bahwa AI memang alat bantu yang sangat luar biasa, tapi tetap saja bukan pengganti.
Apalagi kalau menyangkut bahasa teknis. AI bisa saja memberi draf angka pH, Brix, atau kutipan riset terkait nata de coco. Tapi tidak sekali dua kali, data yang diberikan ternyata salah beneran: ada yang keliru total, ada juga yang salah kaprah konteks. Kalau saya telan mentah-mentah, naskahnya bisa menyesatkan para pembacanya. Dari situ saya makin yakin, peran manusialah yang tetap menentukan dalam memilah, mengoreksi, dan memastikan setiap detail sesuai dengan kenyataan lapangan. Tanpa itu, tulisan hanya jadi kumpulan kata-kata rapi tanpa bobot kebenaran.
Yang lebih menarik: justru di celah itulah manusia tetap diperlukan. Pekerjaan yang membutuhkan empati, penilaian etis, kreativitas sejati, dan pemahaman mendalam akan selalu jadi ranah manusia. AI bisa jadi mitra, pengganda tenaga, atau asisten super. Tapi ruhnya berupa keputusan akhir, makna, niat, tetap ada di tangan kita manusia.
Saya melihat sendiri bagaimana tulisan-tulisan di Kompasiana jadi lebih hidup ketika sentuhan pribadi saya masuk: pengalaman lapangan, gaya bahasa, sampai pilihan sudut pandang. Begitu juga dalam menyusun buku nata de coco yang sedang saya kerjakan, yang tidak hanya butuh data teknis tetapi juga perjalanan panjang dekadean di lapangan. Itu semua tidak bisa direkayasa AI.