Mohon tunggu...
Ajun Pujang Anom
Ajun Pujang Anom Mohon Tunggu... Guru - Guru Plus-plus

Sedang menikmati peran sebagai guru sekaligus penulis, dan pembicara di bidang literasi, metode pengajaran dan media pembelajaran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Nguwongno Wong"

31 Desember 2017   17:22 Diperbarui: 31 Desember 2017   17:49 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nguwongno wong atau memanusiakan manusia, adalah suatu konsep Jawa, agar kita senantiasa respect pada sesama. Karena pada hakikatnya semua orang adalah setara. Jangan sampai hubungan antar manusia, retak. Gegara melakukan penilaian seseorang dari status yang disandang. Atau dalam bahasa lainnya, kedudukan manusia hanya diukur dari seberapa kuasanya, berapa banyak hartanya, dan berapa luas keilmuannya.

Setiap manusia diciptakan mempunyai keunggulan tersendiri. Dengan keunggulan itulah, bisa saling menutupi.

Tidak ada manusia yang benar-benar superior. Pasti ada, punya kelemahan.

Maka berbagai penghinaan ataupun pelecehan, yang sekarang lebih sering disebut perundungan, harus dikikis. Sebab akan membuat nilai-nilai kebajikan yang ada di masyarakat tidak akan berguna. Kalaupun terlihat ada, hanya sekedar "topeng".

Dari ulasan di atas, nampaknya sangat normatif bahasan tentang "nguwongno wong" ini. Mungkin ada yang berkata, belum jelas bentuk konkrit dari apa itu "nguwongno wong". Memang uraian tadi adalah semacam pembuka.  Sebab apapun itu, menjadi indah jika ada basa-basinya. Tak cuma langsung menukik, to the point.

Bentuk teknis dari konsep "nguwongno wong". Kalau boleh dirangkum, ada dua hal, yaitu: mindset dan perilaku.

1. Mindset

Harus sejak dalam pikiran, ada gagasan bahwa setiap insan adalah sama. Sebab itu yang hadir di dalam diri adalah paradigma "janma tan kena ingina" (manusia tak boleh dihina). Peran penanaman mindset dalam konstruk Jawa, dilakukan oleh bapak. Baik secara personal, maupun saat bersama keluarga. Mengapa peran seperti ini disandang oleh bapak? Sebab bapak dianggap lebih bijak dalam menyikapi persoalan, dibanding ibu yang cenderung emosional. Namun sebenarnya, ini adalah pembagian peran saja, antara bapak dan ibu. Bukan "apa-apa" harus ibu yang menangani urusan anak.

2. Perilaku

Dengan mindset seperti itu, akan mudah diarahkan dalam wujud nyatanya seperti muka yang ramah (selalu senyum), responsif terhadap sekelilingnya, dan setia kawan. Tentunya akan terlampau sulit untuk dibelokkan ke arah yang tak tepat. Karena pondasi yang dibangun, berasal dari keteladanan kedua orang tua. Bahkan secara detailnya ada semacam do'a-do'a yang mengiringi. Meski orang jaman sekarang, menganggap hal ini adalah pengaruh Kejawen, yang tak layak pakai. Semacam ini do'anya: ... sawang kongarep pantes, sawang komburi dhemes .... Do'a ini digunakan saat memakai baju. Jika diterjemahkan berbunyi, "dilihat dari depan dan belakang, tetaplah bagus". Ungkapan ini bermakna tidak saja untuk memuliakan diri. Namun lebih dari itu, berusaha untuk tampil sejajar dengan yang lainnya. Do'a ini mengajak setiap manusia, agar selalu memperhatikan penampilan, tidak saja dari segi fisik, tapi juga hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun